Malam menjelang, di sebuah taman rumah sakit yang sudah hampir tiga hari ini Zein kunjungi, dan nyaris tak pernah ia tinggalkan. Saat ini pun ia masih terlihat di sana, tertunduk dengan air mata yang masih menetes di pipinya. Baru beberapa saat lalu ia merasa jika akan mampu mempertahankan hubungannya dengan Sean. Namun, mengapa saat ini ia malah merasa tak mampu untuk menjalaninya lagi. Ia merasa akan sangat egois jika masih memaksakan diri hanya karena perasaan cintanya.
Tak peduli sebesar apa perasaan cinta yang ia miliki kepada Alpha itu, bahkan orang-orang tak akan melihat itu. Dan bagaimana pun ia menunjukkannya, mereka tak akan mengerti, sebab yang mereka lihat, adalah penderitaan Sean jika masih berdiri di sisinya.
"Kau masih tak berubah, selalu bersembunyi dan menangis seorang diri."
Tin yang tiba-tiba muncul langsung memilih duduk di samping Zein, dengan dua cup capuchino di tangannya untuk di berikan kepada omega itu. Sebelum ia meminum cofe tersebut terlebih dulu untuk menghangatkan tubuhnya.
Hening.
Tak ada suara yang terdengar di sana, selain suara Zein yang sesegukan, juga suara angin malam yang meniup pepohonan. Suara yang jelas terdengar begitu juga dengan angin yang kini menerpa wajah mereka yang masing-masing terlihat muram oleh kesedihan di hati. Hingga beberapa menit berlalu setelah mereka duduk dalam keheningan.
"Tin ...."
"Yah?"
"Apa kau pernah merasa kita akan lebih baik, jika terlahir sebagai orang biasa?"
Tin terlihat menarik napas berat. Sungguh satu pertanyaan yang juga sering ia ajukan dulu, bahkan ketika pertama kali Pavel meninggalkan dirinya setelah kehilangan bayi mereka. Ia tak menyangka jika saat ini Zein juga akhirnya menanyakan hal sama dengannya. Dan pertanyaan itu hadir ketika ia juga berakhir mencintai seseorang yang mungkin akan sulit di terima di dalam keluarga Hamilton, dan Tin cukup bersedih atas apa yang sudah terjadi dengan Zein saat ini.
"Apa kau pernah berpikir, jika akan lebih baik, kita hidup sebagai orang bisa yang tak memiliki apa pun, tapi bebas bersama dengan seseorang yang di cintai, tanpa adanya syarat apa pun."
"Yah," angguk Tin, "aku bahkan sudah memiliki keinginan itu sejak ayah dan ibu pindah ke New York," sambungnya.
"Kenapa aku baru merasakan ini ketika Sean masuk di dalam kehidupanku. Apa yang harus aku lakukan? Aku sudah menanyakan hal ini hampir ribuan kali. Tapi aku masih juga belum mendapatkan jawabannya, dan hal ini sungguh sangat menyakitkanku."
Air mata Zein kembali menitik, dan Tin bisa melihat betapa dalam kesedihan omega itu saat ini.
Sejak Zein memutuskan untuk tak melanjutkan pertunangan mereka lagi saat itu, Tin benar-benar berdoa dengan tulus, dan berharap agar Zein bisa menemukan Alpha yang tepat untuknya dan sangat mencintanya. Sebab, Tin sudah tak ingin melihat omega itu bersedih lagi. Sudah cukup dirinya saja yang pernah membuat omega itu bersedih hingga nekat mengakhiri hidupnya sendiri. Namun, sudah beberapa hari ini, Tin terus melihat air mata Zein. Dan hal itu cukup membuatnya khawatir, ikut merasakan kesedihan.
"Kita seolah tak di izinkan untuk bahagia dengan pilihan kita sendiri," ucap Zein dengan suaranya yang sudah terdengar sengau. Sedang Tin masih terdiam.
Ia sudah merasakan apa yang di rasakan Zein saat ini, meski ia sudah berusaha keras untuk mempertahankan semuanya, dengan melakukan berbagai macam cara untuk mempertahankan seseorang yang di cintai. Namun, tetap saja gagal. Kerja kerasnya sia-sia hingga berakhir ia yang kembali patah hati, dengan keterpurukan yang mendalam.
"Terkadang takdir begitu kejam, bahkan kita sendiri tak bisa melawannya, sekuat apa pun kita berusaha," balas Tin.
"Apa ini takdir kita?"
KAMU SEDANG MEMBACA
INSIDE
Romance"INSIDE" Menceritakan tentang mereka yang mencari kebahagiaan, menghadapi dilema, rasa sakit dan penyesalasan.