"Tapi dia tak memberikan hak itu untukku, Sean. Dia sudah memiliki seorang putra yang menggantikanku. Itu bagus," balas Pavel mengendikkan bahu, dengan ekspresi wajah yang terlihat biasa saja. Seolah kejadian yang pernah terjadi di masa lalu bersama sang ayah sudah tak di pedulikannya, dan mungkin sudah tak pernah di pikirkannya lagi.
"Aku tak pernah tahu jika kau pernah melewati hal seberat itu," ucap Sean dengan kesedihan yang seketika menumpuk di dalam hatinya.
Dan hal yang wajar jika Pavel sudah tak ingin menginjakkan kaki di tempat ini lagi, sebab sudah terlalu banyak luka di hatinya yang sudah di hancurkan oleh orang paling dekat bahkan paling di sayanginya, yaitu ayahnya sendiri.
"Lalu, selama beberapa hari itu, kau ke mana?"
"Enschede."
"Apa yang kau lakukan di sana?"
"Mencari ayah dan ibuku, aku pikir mereka di sana setelah dua hari tak kembali ke sini, kau tahu jika aku begitu panik, khawatir dan ketakutan menunggu mereka, jadi aku memutuskan untuk ke sana menyusul mereka."
"Lalu?"
"Ternyata mereka juga tak di sana. Aku bahkan menunggu hingga berhari hari, sudah aku katakan. Mereka tak kembali, Sean."
Mereka tidak akan pernah kembali Pavel, kenapa aku menjadi sangat tidak tega untuk memberitahumu, jika ibu Delania dan paman Hadley sudah tidak ada.
"Dan kau bertemu pria itu di sana?"
Kening Pavel mengernyit. "Pria?"
"Pria Hamilton itu."
"Maksudmu, Tin?"
"Yah, kau bahkan bisa mengejah namanya dengan sangat benar."
"Apa kita harus membahas pria itu lagi sekarang?" tanya Pavel, tampak tak menyukai pembahasan mereka sekarang.
"Aku hanya penasaran. Dia mengatakan jika bertemu denganmu tepat di usiamu yang menginjak delapan tahun. Apa itu benar?" tanya Sean mengabaikan ketidak nyamanan Pavel dan terus menanyakan soal Krittin Feith, pria yang baru saja pergi beberapa menit lalu. Ia pun tak bisa memungkiri jika sempat merasa terganggu atas kehadiran Tin pagi tadi.
"Dia mengatakan itu padamu?"
"Yah, sejujurnya, aku yang menanyakannya. Apa itu benar?"
"Hmm," angguk Pavel sedikit lega. Ia pikir Tin akan mengatakan tentang pertemuan mereka di Pigalle dan malam panas yang pernah mereka lewati bersama.
"Kalian bersama di hari ulang tahunmu? Dia tahu, 'kan? Lalu, apa dia juga memberikan ucapan selamat padamu?" tanya Sean yang memaksa Pavel kembali pada kenangan beberapa tahun lalu ketika pertama kali ia bertemu Pavel.
Namun, mengapa ia enggan menceritakan semua hal tentang pria itu kepada Sean. Tentang semua kebaikan, dan juga ketulusan pria itu padanya. Dan sampai saat ini pun ia masih tak mengerti dengan dirinya sendiri, mengapa masih berat menerima pria itu untuk berada di sisinya. Apa karena pria itu yang paling mengetahui semua luka dan penderitaannya saat itu juga pria yang paling banyak melihat air matanya. Ia juga tak memiliki alasan yang pasti mengapa tiba-tiba tak ingin melihat pria itu lagi.
"Pavel," panggil Sean membuyarkan lamunan Pavel seketika, "baiklah, kita tidak akan membahas masalah ini lagi. Tapi bisakah kau jelaskan, sejak kapan kau berada di sini? Apa kau benar-benar tak tahu jika aku sudah berada di sini sejak semalaman?"
"Semalaman? Are you crazy?"
"Aku hanya ingin menunggumu, perasaanku mengatakan jika kau akan kemari. Jadi aku memutuskan untuk menunggumu," balas Sean tersenyum lebar, seolah apa yang baru saja ia lakukan adalah hal yang paling benar. Menunggu semalaman dengan di temani ratusan nyamuk dan angin malam yang menusuk kulit.
KAMU SEDANG MEMBACA
INSIDE
Romance"INSIDE" Menceritakan tentang mereka yang mencari kebahagiaan, menghadapi dilema, rasa sakit dan penyesalasan.