"Terkadang kita tak perlu alasan mengapa membenci seseorang. Kita bahkan bisa membenci orang itu tanpa alasan."
"Kau benar," angguk Zein yang akhirnya jadi memikirkan kata-kata Pavel.
Hingga ia kembali pun, ia masih memikirkan kata-kata tersebut. Mungkin seseorang tak membutuhkan alasan untuk menyukai, ataupun untuk membenci. Dan ia tak perlu bertanya, menagapa kau membenciku, ataupun, mengapa kau menyukaiku?
Zein melintasi trotoar jalan dengan pikiran yang kini melayang. Persaannya kembali terluka, justru rasa sakit itu datang ketika ia mengakui perasaannya sendiri. Hingga berakhir dengan penyesalan. Mengapa ia begitu bodoh, mengungkapkan segala perasaannya, sedang ia tahu jika tak akan ada cinta untuknya.
Tapi seharusnya kau tak mengabaikanku. Kau hanya perlu mengatakan jika kita tak bisa bersama? Sebenarnya itu sudah cukup bagiku. Kau tak harus menghindari dan mengabaikanku seperti tadi, karena itu benar-benar membuatku sangat sakit dan terluka.
Zein menghentikan langkahnya di tengah perjalan, berhenti sejenak oleh rasa lelah di hati, dan pikirannya. Ia sungguh menyesali moment di hari ini. Terlalu memaksakan diri, hingga melupakan batasannya.
Bagaimana aku harus pulang sekarang? Aku bahkan tak bisa menghubungi siapa pun.
Zein mengeluarkan ponselnya yang lowbat karena kehabisan daya. Ia juga tak memiliki selembar dolar pun di kantong, karena melupakan tas di mobilnya sendiri yang masih terparkir di depan Caffe. Bahkan satu pun, tak ada taxi yang melintas. Ia juga tak memiliki keberanian untuk berkeliaran di pinggiran jalan, takut jika harus bertemu para begundal lagi yang pernah memasukkan fotonya di situs dewasa untuk di jual.
Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku ketakutan.
Zein memundurkan langkahnya, ketika melihat sebuah mobil fans berhenti di sana, bersamaan dengan seseorang yang keluar dari dalam mobil tersebut dengan sebuah botol miras yang masih di pegangnya. Pria betampang brewok, sangar, dan cukup menakutkan.
Sean ... help me ....
Sedang di tempat yang sudah Zein tinggalkan beberapa menit lalu. Tampak Pavel yang masih duduk seorang diri. Baru beberapa menit lalu ia merasa tak hidup seorang diri karena masih berbicara dan tertawa kepada seseorang. Namun, di detik ini, ia merasa seolah kembali di lempar pada kegelapan yang membuatnya kesulitan untuk bernapas. Ia mulai sesak dengan bayaknya kenangan yang kembali terlintas di pikiran, hingga mengudang air mata yang kembali menitik, kala bayangan Tin tertinggal di ingatannya. Entah sampai kapan ia akan terus merasakan kesesakkan hati seperti sekarang ini.
Apa kau baik-baik saja sekarang? Aku bahkan bingung akan menjawab apa ketika mereka selalu menanyakan keadaanku. Tak ada yang benar-benar tahu, hampir gilanya aku saat ini, dan tak ada yang benar-benar tahu, kacaunya perasaanku saat ini, karena semenjak tidak bersamamu, segala hal di dunia ini terlalu rumit untuk aku selesaikan sendiri. Semua tentang kita selalu saja berputar-putar di kepalaku, seakan tak di beri waktu untuk beristirahat meski hanya sebentar. Kadang aku juga berfikir, cinta mana yang hadir tanpa masalah? Aku rasa tak ada. Dan lagi-lagi kehilanganmu membuatku sangat kacau tanpa arah. Aku harus bagaimana lagi saat ini? Setelah tidak denganmu, aku bahkan tak pernah lagi merasakan ketenangan. Aku mohon Tin ... tolong aku.
Pavel menjerit pilu, menahan sesak di dalam hati. Pandangannya hampa menatap pepohonan yang tertiup angin, hingga rasa dingin menyapa wajahnya yang kembali di genangi air mata.
Tin ... Tin ....
Terus memanggil nama pria itu adalah hal yang tiap saat ia lakukan. Saat ini ia benar-benar kehilangan dirinya yang dulu. Ia lebih sering menangis, bahkan air matanya bisa menetes dengan mudah akhir-akhir ini. Berada di ambang keputus asaan dan rasa ptrustasi, karena semakin hari perasaan cintanya kepada Tin semakin bertambah. Ia terlalu mencintai pria itu hingga tak tahu cara untuk untuk berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
INSIDE
Romance"INSIDE" Menceritakan tentang mereka yang mencari kebahagiaan, menghadapi dilema, rasa sakit dan penyesalasan.