"Kau sungguh kejam padaku, Tin. Aku sudah tak punya siapa-siapa lagi, aku sendirian di dunia ini, dan jika kau pergi, apa yang harus aku lakukan tanpamu?"
"Sungguh maafkan aku, Zein."
"Lalu mengapa kau tak mengatakannya sejak awal?"
"..."
"Kau membiarkanku terus berharap dan jatuh cinta padamu, kau membuatku tergila gila hingga akhir, di saat aku sudah yakin jika kau juga mencintaiku. Kau tak menolak pertunangan kita, aku pikir ... karena kau juga mencintaiku, tapi ... kau hanya membuatku menjadi seorang Omega bodoh yang selalu bergantung padamu, kau terus membuatku mengharapkan sesuatu yang tak pasti, bahkan tak ada cinta untukku."
"Maafkan aku," ucap Tin, meraih tubuh Zein untuk di peluknya erat, "sungguh ... maafkan aku."
"Aku tak ingin memaafkanmu," balas Zein dengan nada pelan.
"Shan ...."
"AKU TAK INGIN MEMAAFKANMU! ARGGHH ...!" teriak Zein memukuli punggung Tin hingga berulang kali, sedang Tin hanya bisa terdiam tak menghindar. Sadar jika ia memang berhak mendapatkannya. Bakan sakitnya sekarang, mungkin tak sebanding dengan sakit yang di rasakan Zein selama ini, dan itu semua karenanya.
"Kau bisa menghukumku jika kau mau, dan aku akan menerima semuanya."
"Aku akan mengutukmu, kau tak akan pernah bahagia, bahkan di seumur hidupmu, kau akan terus merasakan sakit karena di sikiti oleh seseorang yang kau sayangi, kau akan terus menangis di saat Omega yang kau cintai pergi meninggalkanmu, hingga akhirnya kau akan menyesal karena sudah menyakitiku," ucap Zein masih dengan air matanya, dan Tin yang masih terdiam mendengar segala kutukan yang di berikan Zein padanya. Membiarkan Omega itu terus menangis di dalam pelukannya hingga tertidur pulas.
Tin kembali membaringkan tubuh Zein di atas tempat tidur dan menyelimutinya. Masih terdim dengan satu tarikan napas panjang sambil mengusap sisa air mata yang masih membasahi wajah Omega itu yang masih sesegukan.
"Maafkan aku Zein, aku terima semua kutukanmu padaku, jika itu yang bisa membuatmu bisa memaafkanku," ucap Tin yang masih setia menatap wajah Omega itu.
"Kau tidak akan sendiri, meskipun kau sudah kehilangan ayah dan ibumu. Tapi kau masih memiliki ayah dan ibuku. Mereka sangat menyayangimu, bahkan aku pun sangat menyayangimu. Karena kau adalah adikku," tuturnya, tak berharap Zein bisa mendengarnya, "sekali lagi, maafkan aku Zein. Maaf karena aku tidak bisa memberikan perasaanku seperti apa yang kau harapkan," sambungnya sebelum beranjak dari sana.
Hendak melangkah, sebelum langkahnya terhenti ketika merasa, ujung jas yang ia kenakan di tarik oleh sesuatu.
"Zein ...."
"Aku tidak akan berbicara apa pun lagi, aku hanya akan diam dan menurut. Apa pun yang di katakan oleh ayah Aroon dan ibu Veronica. Aku hanya akan menuruti permintaan mereka tanpa mengatakan apa pun. Maafkan aku," ucap Zein melepaskan ujung jas Tin yang masih berdiri terpaku di tempatnya. Tak menyangkah jika Zein akan bersikap keras kepala dan tak berniat melupakan perasaannya. Sudah pasti ia akan mengikuti semua keinginan ibunya, apa pun itu. Termasuk menikah dengannya.
"Zein."
"Mungkin kau yang harus mengatakan kepada ayah Aroon dan ibu Veronica jika tak menginginkanku lagi, dan aku akan menunggu. Apa yang mereka inginkah, aku tak akan menolak ataupun meminta. Sekali lagi maaf, jika sikapku sudah membuatmu kecewa Tin."
"..."
"Aku lelah, aku ingin tidur," sambung Zein.
Menutupi seluruh tubuh dengan selimut tebalnya dan membiarkan air matanya luruh sekali lagi, mencoba menghilangkan sakit yang kini menjalar di seluruh tubuhnya. Sedang Tin masih berdiri kaku di tempatnya, terdiam tak melakukan apa pun.
"Apa, kau akan terus seperti ini?" tanya Tin dengan Zein yang masih terdiam tak mengatakan apa pun, "kau tahu, jika hatimu akan semakin tersiksah dan tersakiti karena ini," sambungnya yang lagi-lagi tak mendapatkan respon dari Zein.
Hingga beberapa saat.
"Baiklah, aku pergi."
Tin beranjak pergi meninggalkan kamar Zein menuju ruang keluarga, dengan Veronica dan Aroon yang masih menunggu, begitu juga dengan Albern yang terlihat khawatir di tempatnya.
"Di mana Zein?" tanya Veronica saat melihat Tin yang tengah melangkah ke arah mereka, dan duduk di samping ayahnya.
"Zein sudah tidur."
"Apa dia baik-baik saja?" tanya Veronica menyipit.
"Iya, Ibu," angguk Tin pelan, meski Veronica tak lekas mempercayai itu, mengingat Zein meninggalkan ruangan dengan air matanya beberapa menit yang lalu.
"Tin, bisa Ibu meminta sesuatu padamu, Nak?" tanya Veronica usai menata perasaannya yang sempat merasakan kecewa dan marah kepada putranya sendiri.
"Tentu saja, Ibu."
"Jangan membuatnya terus menangis. Kau bisa, 'kan? Ibu mohon, buat Zein bahagia, seperti apa yang ayah dan ibunya lakukan sebelum mereka meninggal dunia," ucap Veronica dengan kata-kata yang seketika mengiris hati Tin, dan hanya bisa menarik napas dalam. Semua terasa perih dan sakit. Ia benar-benar tak bisa melakukannya. Seandainya bisa, sekali saja. Ia ingin menjadi seorang putra yang pembangkang, tak menuruti satu keinginan ibunya.
"Tin, apa yang di katakan ibumu benar. Kalian sudah bersama sejak kecil, bahkan kalian tumbuh bersama. Zein terlihat bergantung padamu, dan hanya kamu yang bisa membuatnya bahagia. Jadi Ayah minta, turuti apa yang di katakan ibumu," timpal Aroon menambahkan.
"Ayah ...."
"Selama ini kau tak pernah menentang perkataan ayah dan ibumu. Dan sekarang kau sudah tumbuh dewasa, apa di usiamu yang sekarang, kau akan berubah menjadi anak yang pembangkan?" tanya Veronica menatap sang putra.
"Tidak."
"Lalu menurutlah. Kau adalah pusaka di keluarga ini. Semua yang di miliki Hamilton akan jatuh di tanganmu, dan tentu saja itu dengan satu syarat," balas Veronica, "dan Ibu rasa kau sudah tahu dengan syarat itu. Tak sulit, kau hanya harus menurut. Dan satu hal yang harus kau tahu, apa yang ayah dan ibumu lakukan demi kebaikan dan kebahagiaanmu."
"..."
"Ayah dan Ibu tidak mungkin membirkanmu menderita. Sebab sejak kau lahir di dunia ini. prioritas utama kami adalah dirimu, karena kami sangat menyayangimu," sambung Veronica. Sedang Tin hanya terdiam, tertunduk dengan pikiran yang entah kemana.
"Sebaiknya kau beritirahat. Kita akan bertemu saat makan malam nanti untuk membahas pernikahanmu dan Zein. Ayah dan ibumu harus pergi," balas Aroon beranjak dari duduknya, di susul Veronica sang istri. Hingga menyisahkan Tin yang masih dengan posisisnya. Tertunduk dengan perasaan kalut.
"Kau baik-baik saja?" tanya Albern akhirnya bersuara, setelah terdiam sejak tadi.
"Tidak," geleng Tin dengan nada pelan, sebelum tertunduk dan mengusap wajahnya kasar.
"Yah, aku bisa melihatnya. Aku pikir kau akan berbohong dan mengatakan jika kau baik-baik saja."
"Haruskah aku melakukan hal itu? Berbohong ke semua orang, jika selama ini aku baik-baik saja?"
"Aku rasa tidak perlu. Mereka harus tahu dengan kondisimu sekarang."
"Tapi ibu tidak peduli. Ibu seolah tidak mau tahu, ia hanya memikirkan ...." Kalimat Tin terhenti, dan kembali mengusap wajahnya kasar.
"Mereka hanya ingin melihatmu bahagia."
---
KAMU SEDANG MEMBACA
INSIDE
Romance"INSIDE" Menceritakan tentang mereka yang mencari kebahagiaan, menghadapi dilema, rasa sakit dan penyesalasan.