"Kau akan mengalami keguguran."
"Tidak, demi Tuhan Mayron. Jangan katakan itu padaku," potong Pavel dengan air mata yang kembali menitik, "akan ada keajaiban untuk bayiku, Mayron ...."
"Pavel, Sayang," bujuk Mayron, "proses abortus sedang berlangsung, dan tidak dapat di cegah. Kita tak bisa menghindarinya, i am so sorry."
"Lakukan sesuatu, aku mohon, Mayron. Lakukan sesuatu pada bayiku," serga Pavel memelas, "aku yakin bayiku baik-baik saja, dia akan baik-baik saja!" serunya.
Tin lekas menghampiri.
"MENJAUH DARIKU!" pekiknya seketika menghentikan langkah kaki Tin, "Mayron, aku hanya butuh obat, 'kan? Berikan aku obat, aku mohon ...."
"Pavel, Sayang. Aku tak bisa memberikanmu obat lagi, sudah terlambat. Sedang terjadi pembukaan serviks sekarang, dan obat tak akan menolong janinmu."
"Mayron, aku mohon ... kau tahu betapa aku sangat menyayangi bayiku. Demi Tuhan aku tak bisa menerimanya," balas Pavel mulai terisak.
"Pavel," panggil Tin dengan nada pelan, kembali mendekati Pavel, mengabaikannya yang sedang marah.
Tanpa aba-aba langsung memeluk dan menciumi kening istrinya. Merasakan perasaan sakit di dalam dirinya. Ia bahkan sudah berjanji akan melindungi Pavel dan bayi mereka dari ibunya. Jika saja ia tak pergi pagi itu, dan tetap menjaga dan memeluk Pavel, mungkin ini tak akan terjadi. Pavel tak akan menangis terseduh, karena kehilangan bayi mereka. Ia seolah tak punya pilihan lain, tanpa sadar mendesah oleh rasa penyesalan yang terjadi hari ini.
"Aku tak ingin kehilangan bayiku," ujar Pavel sesegukan, merasa hidupnya benar-benar hancur, "aku yang bersalah atas sesuatu yang terjadi pada janinku, seharusnya aku tak bertemu denganmu, mungkin saja ... jika kau membiarkanku pergi dan menjauh, jika saja kau tak menahanku, mungkin janinku masih baik-baik saja. Aku bahkan masih bersamanya tadi pagi," sambungnya terguncang hebat oleh rasa sakit, marah, dan benci juga kecewa, bersalah dan semua emosi negatif.
"Pew," sahut Tin kembali memeluk dan menciumi kening istrinya yang masih menangis, "ini bukan salahmu, kau tak bersalah. Aku sungguh menyesal karena tak jujur padamu di awal. Aku menyesal, tolong maafkan aku," bujuknya menciumi puncak kepala istrinya.
"Aku tak ingin kehilangan bayiku, Tin." Pavel menggeleng sesegukan saat Mayron mulai siapkan infus dan transfusi darah, "Mayron, tolong aku. Bisakah kita melakukan USG lagi? Aku mohon," tanya Pavel yang masih berharap akan ada keajaiban untuknya dan bayinya. Selama ini ia tak pernah mengharapkan keajaiban apa pun untuk dirinya sendiri, terakhir ia meminta dan mengharapkan keajaiban ketika ibu dan ayahnya pergi. Meski hingga kini keajaiban itu tak pernah ada. Namun, kali ini ia kembali meminta keajaiban itu kepada Tuhan, keajaiban untuk bayinya.
"Maafkan aku, Sayang. Tapi kita sudah kehilangan dia."
"Mayron!" serga Tin.
"Tuan muda, aku rasa kau lebih tahu dan paham. tak ada kasus Abortus insipiens dan janinnya selamat," balas Mayron pelan.
Pavel sudah tak mampu menutupi kesedihannya lagi, hingga akhirnya pasrah, terbaring pasrah merasakan luka yang sangat mendalam. Sedang Tin hanya duduk di sampingnya tak melakukan apa pun selain menatap sang istri dengan hampa. Tak berani berbicara lagi sekarang. Pahami Pavel yang sedang berduka atas kehilangan bayi mereka. Ia pun merasakan hal yang sama, bahkan jauh lebih sakit hingga berpuluh-puluh kali lipat. Ia terus merasakan perasaan bersalah, merasa jika karena dirinyalah, mereka kehilangan bayi mereka sendiri. Ia kini gagal melindungi bayi mereka.
"Pew, maafkan aku," bisik Tin menggenggam telapak tangan Pavel.
"Aku tak ingin melihatmu."
"Aku mohon ... jangan seperti ini. Aku akan menjelaskan semuanya padamu. Dan satu hal yang perlu kau tahu. Aku tak pernah memiliki niat sedikit pun untuk membohongimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
INSIDE
Romance"INSIDE" Menceritakan tentang mereka yang mencari kebahagiaan, menghadapi dilema, rasa sakit dan penyesalasan.