"Tidak," jawab Pavel, tanpa berpikir lama, "aku akan bersama Ibu, menemani dan menjaganya. Aku bisa menggantikan Ayah untuk menyayangi dan mencintai Ibu," sambungnya, memundurkan langkahnya untuk menjauh ketika sang ayah hendak meraihnya.
"Pavel ...."
"Maaf Ayah, aku tidak bisa meninggalkan Ibu. Dan aku akan tetap bersamanya," balas Pavel sekali lagi.
Apa pun alasannya, mengapa ia terus melihat kedua orang dewasa di hadapannya selalu bersitegang, mengucap kalimat kasar, dan saling meneriakki satu sama lain, bahkan aduh fisik hingga menghasilkan tubuh dan wajah memar. Di matanya ayahnya tetap salah sebab memutuskan untuk pergi dan meninggalkan dirinya, sedang ia merasa tak memiliki salah apa pun kepada sang ayah, mengapa ia juga harus merasakan hal yang sama? Itulah yang ada di dalam pikiran Pavel, seorang anak berusia 6 tahun, yang sudah memiliki pikiran dewasa, dan tak seperti anak seumurannya.
Jeff beranjak dari sana, ketika melihat Pavel berlari ke arah ibunya. Tanpa mengucapkan kalimat apa pun, pria itu melangkah pergi begitu saja menuju mobil, hingga dalam beberapa detik saja mobil yang di kendarainya sudah terlihat meninggalkan tempat tersebut. Menyisahkan Pavel yang masih memeluk tubuh ibunya di teras.
"Are you okay, Mam?" tanya Pavel mengusap air mata ibunya yang hanya mengangguk dengan senyum di wajahnya. Satu senyum untuk menutupi kesedihan hatinya saat ini.
"Ibu baik-baik saja, my Dear," balas Delania mengusap rambut sang putra lembut, "mandilah, kau bisa terkena flu, Ibu akan menyiapkan makan malam untuk kita," sambungnya beranjak dari duduknya, meraih telapak tangan sang putra untuk di genggamnya, sebelum melangkah masuk ke dalam rumah yang terlihat sangat berantakan. Banyak barang pecah, begitu juga dengan kursi dan meja berhamburan.
"Aku akan membantumu untuk membersihkan semuanya," ucap Pavel memungut berapa pecahan keramik yang berserakan di atas lantai.
"Mandilah. Biar Ibu yang membereskan semuanya."
"It's okay, Mam. Aku akan membantumu, dan mulai hari ini, biarkan aku membantumu," balas Pavel hingga membuat Delania menyerah, dan kembali merapikan beberapa kursi yang sudah tak berada pada posisi semula lagi.
"Berhati-hatilah. Jika tidak kau akan terluka," ucap Delania, mengawasi sang putra yang masih mengumpulkan beberapa pecahan keramik yang sudah mereka hancurkan.
Betapa ia sangat merasa bersalah sekarang, sebab lagi-lagi melibatkan putranya dalam masalah yang sudah mereka buat. Saat ini pun, Delania hanya bisa mengelus dada ketika mulai merasakan sesak yang seolah akan membuat napasnya berhenti.
"Pavel," panggil Delania dengan perlahan, seolah takut jika suara kerasnya akan mengejutkan putranya.
"Iya Ibu," sahut Pavel tanpa mengalihkan pandangan dari tumpukan beling di hadapannya.
"I' am so sorry," ucap Delania dengan suara sedikit bergetar menahan tangis, sedang Pavel masih terdiam, dengan jemari mungilnya yang tengah memasukkan beling ke dalam tempat sampah.
Dan untuk yang kesekian kalinya ia mendengar kata maaf dari kedua orang tuanya, bahkan sejak ia berusia 4 tahun, dan benar kata sang ayah, jika kata maaf tidak akan merubah apa pun, dan jika memang benar demikian, mengapa harus mengucapkan kata maaf hingga berulang kali, bukankah itu percuma?
"Iya ... Ibu," angguk Pavel saat sudah mengumpulkan semua pecahan beling tersebut, "jangan melakukan apa pun lagi Ibu, jika hal itu tidak akan merubah keadaan," sambungnya yang membuat Delania terdiam dengan napas yang semakin sesak, entah di mana putranya bisa mengatakan hal demikian, kalimat yang hanya bisa di pikirkan oleh orang dewasa saja.
"My Dear, maafkan Ibu yang sudah melukaimu," balas Delania melangkah mendekati putranya, berlutut di hadapan sang putra untuk di peluknya sekali lagi.
"Tidak apa-apa Ibu, selama Ayah dan Ibu baik-baik saja, dan merasa puas, aku sungguh tidak apa-apa, kata Sean dan Beall aku harus bisa menerima semuanya. Meskipun aku sangat ingin menangis dan lari dari rumah," balas Pavel yang ternyata masih memiliki pemikiran polos lanyaknya anak semurunnya.
"I' am so sorry, Dear. Seharusnya Ibu tidak menyeretmu dalam masalah ini, Ibu sungguh menyesal," balas Pavel mulai sesegukan.
"No, Mom. Aku mengerti, Ibu pasti sangat kesakitan."
Pavel melepaskan pelukan, dan langsung mengusap wajah ibunya yang kembali di banjiri air mata. Entah sejak kapan putranya menjadi tumbuh dengan sikap dan pemikiran dewasa. Apa selama ini ia terlalu sibuk dengan egonya, dan juga segala konflik yang terus terjadi di antara dirinya dan suami, hingga mengabaikan putranya sendiri yang selalu ada saat ia sedang menangis.
"Baiklah, bukankah Ibu akan memasak untuk makan malam? Aku sudah kelaparan, mencari bunga liar bersama Beall dan Sean cukup melelahkan. Biarkan aku yang membereskan sisanya," sambung Pavel melanjutkan pekerjaannya, sedang Delania masih duduk bersimpuh di atas lantai, sambil mengusap air matanya, mengawasi sang putra yang tengah mengangkat kursi dan meletakkannya ke tempat semula, kembali menata benda-benda yang masih bisa di pakai dan tak rusak ke tempat semula.
Hingga pada bingkai foto yang sudah tak memiliki kaca, sebab kacanya sudah berserakan di atas lantai saat terjatuh atau sengaja di banting beberapa menit lalu. Dan untuk sesaat Pavel menatap foto tersebut, di sana tampak dua orang dewasa yang saling mencintai, dengan senyum bahagia terukir di bibir mereka. Ia pun bisa melihat, betapa cantiknya wanita di dalam foto itu.
"Apa Ibu ... masih akan menyimpan ini?" tanya Pavel mengangkat bingkai foto pernikahan ayah dan ibunya.
Delania terdiam untuk sesaat, menatap sayu pada bingkai yang tengah di peluk putranya. Bibirnya terlihat bergetar, ingin mengatakan jika sebaiknya buang saja semuanya, jika perlu bakar hingga tak tersisa. Namun, ia tidak tega saat melihat wajah sang putra yang terlihat tak ingin melepaskan bingkai foto tersebut. Sebab hanya itu yang tersisa sebagai kenangan jika ia juga pernah memiliki seorang ayah.
"Bawah pergi dari sini, tidak ... sebaiknya kita tak menyimpannya Pavel," balas Delania beranjak dari duduknya dan melangkah menuju ke pantri.
"Bolehkah aku menyimpannya?" tanya Pavel sedikit meninggikan suaranya.
"Haruskah kau melakukan itu, Pavel?" tanya Delania menatap putranya yang masih berdiri di sana.
"Yah, karena Ayah di sini," jawab Pavel kembali menatap foto sang ayah.
"Tapi ayahmu sudah pergi Pavel, dia sudah meninggalkan kita," balas Delania meletakkan beberapa bahan makan di atas meja. Namun, karena perasaan kalut dan sedih bercampur marah, beberapa bahan makan akhirnya terjatuh dan berserakan di atas lantai, hingga membuat Delania berdecak kesal, terlihat semakin prustasi.
"Aku tahu, tapi Ibu ...."
---
KAMU SEDANG MEMBACA
INSIDE
Romance"INSIDE" Menceritakan tentang mereka yang mencari kebahagiaan, menghadapi dilema, rasa sakit dan penyesalasan.