Chapter 63

78 10 0
                                    

Chapter 63 — No More Archery
————————————————————

"Instruktur Liang, kamu masih belum memberi tahuku bagaimana peraturan memenangkan kompetisi memanah."

He Yan memandang Liang Ping yang berada di sampingnya, "Apakah kita menghitung dari jumlah mangsa atau apakah pemenang akan ditentukan sesuai dengan siapa yang mencapai ujung istal lebih dulu?"

Liang Ping belum berbicara, tapi Ma Da mei telah menggantikannya. Dia tersenyum, "Anak muda, kita akan berlari satu putaran sementara dupa dibiarkan menyala. Ini akan menjadi awal dan titik akhir balapan. Kami berempat memiliki warna panah yang berbeda, jadi kami akan menembak target di tikungan. Siapa pun yang kembali lebih dulu setelah menembakkan panah akan menjadi pemenangnya."

Setelah mendengar ini, He Yan mengangguk setuju, "Oke."

Liang Ping tidak bisa menahan diri untuk tidak melihatnya. Yang paling banyak dikatakan pemuda ini adalah 'oke'. Itu adalah 'oke' yang sama yang dikatakan kepada Wang Ba, Jiang Jiao dan Huang Xiong. Dan sekarang, bahkan kepada instruktur, dia masih menjawab dengan jawaban yang sama. Dia tidak tahu kapan dia akan mendengar He Yan menjawab 'tidak'.

"Kalau begitu, mari kita mulai."

Begitu Du Mao menarik tali kekang, terompet berbunyi di belakangnya, dan keempat kuda itu berlari menjauh seperti anak panah, hanya menyisakan asap dan debu dalam sekejap mata.

Kuda yang ditunggangi He Yan berperilaku jauh lebih baik daripada kuda yang dibawa He Sui di area latihan sekolah di ibukota. Kuda itu seharusnya dilatih dan dijinakkan secara khusus. Kuda itu memahami instruksinya dengan sedikit perintah yang dia berikan. Dia juga memperhatikan bahwa, dari tiga instruktur, Liang Ping dan Du Mao pandai berkuda tapi skill nya tidak mendekati Ma Da Mei yang menakjubkan. Keterampilan menangani kuda Ma Da Mei sama baiknya dengan miliknya, bahkan mungkin lebih baik, tapi dia tidak menunjukkannya.

Dia mengawasi ketiga orang ini, tapi para instruktur juga mengamatinya. Du Mao menatapnya dan hampir tidak mengalihkan pandangan dari kepalanya.

Dia melilitkan cambuk secara diagonal di lengannya, memerintahkan kuda untuk berlari ke arah yang diinginkan. Saat dia menepuknya dengan ringan dengan tangannya, dia membuat Du Mao berpikir. He Yan bukanlah putra atau tuan muda dari ibu kota yang akan berkeliling di jalanan. Apa maksudnya dia bertingkah seperti itu?

Aspek yang paling mengejutkan adalah sikap santainya terhadap segalanya. Dia bahkan tidak tertinggal dari para instruktur, dan dia bahkan tersenyum padanya.

Du Mao segera membuang muka.

Kuda itu berlari seperti meteor. Dalam sekejap mata telah mencapai tikungan. He Yan menyentuh anak panah di belakang punggungnya dan mengeluarkan beberapa anak panah untuk menembak sasaran jerami di kedua sisi.

Targetnya tidak sebesar yang ada di ujung lain arena; (targetnya) hanya sekecil telapak tangan - tidak terlihat oleh mata dan mudah untuk dilewatkan. Saat He Yan hendak menembak, Liang Ping dan Du mao saling berpandangan. Satu demi satu kuda menyusul di samping He Yan, masing-masing mendesak kuda He Yan di tengah. Panah di tangannya menghilang, membuatnya tidak bisa menembak.

Kuda itu ketakutan. He Yan tersentak beberapa kali dan menarik kendali untuk menstabilkan dirinya. Dia melihat ke arah Liang Ping dan Du Mao yang sedang menembakkan panah dengan busur mereka seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Du Mao bahkan berani mengatakan padanya, "He Yan, hati-hati! Jangan sampai jatuh!"

Seolah-olah bukan mereka yang bermain kotor!

He Yan mengangkat alisnya. Sejujurnya, dia tidak pernah tahu bagaimana melepaskan kecurangan dalam sebuah kompetisi. Bagaimana dia bisa melepaskan fakta bahwa pertandingannya terganggu?

Liang Ping dan Du Mao sudah menembakkan panah mereka, tapi panah hijau muncul dengan bunyi 'gedebuk'. Panah mereka terbelah dua dan mendarat di tanah pada arah yang berbeda.

Mereka berdua memandang He Yan pada saat yang sama. He Yan mengangkat bahunya, "Instruktur, kenapa keterampilan memanahmu sangat buruk?"

Liang Ping terdiam.

Pemuda ini sangat sombong sehingga dia tidak bisa memaafkannya.

Pria tua, Ma Da Mei, sudah menyusulnya dari belakang, tersenyum, "Anak muda, tidak perlu terburu-buru. Santai saja."

Ke mana pun dia bergerak, ketiga pria itu akan mengikutinya dari belakang, depan, atau samping—menekannya seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Kudanya sering ketakutan karena dia tidak bisa membidik tepat sasaran.

Setelah mencoba berkali-kali, dia menyadari bahwa ketiga instruktur itu sengaja melawannya. Meskipun dia tidak mengerti kenapa harus berbuat seperti itu, itu mungkin bagian dari kompetisi. Mereka ingin dia melewatkan setiap tembakan sehingga bahkan jika dia menyelesaikan trek terlebih dahulu, dia tidak akan menang.

Dia kalah jumlah. Itu adalah kompetisi memanah jadi dia tidak bisa melawan instruktur. Tapi membiarkannya lepas seperti itu bukanlah sesuatu yang bisa dia lakukan.

Matanya bergerak sedikit dan bergumam, "Mencoba menipuku? Tidak mungkin."

Dia tiba-tiba mengangkat lengannya dan cambuk kuda yang melilit lengannya menyebar, jatuh ke angin dengan suara renyah.

Du Mao mengerutkan kening, "Apa yang dia lakukan?"

Dari awal hingga akhir, He Yan tidak menggunakan cambuk kuda. Memang jarang melihat orang tidak menggunakan cambuk saat berkuda. Tapi sekarang He Yan mengeluarkan cambuk itu. Apakah itu karena dia tidak bisa bertahan dan akan menggunakan cambuk saat berkuda?

Saat dia melihat cambuk kuda melesat ke arahnya, Du Mao terkejut. Dia menghindari serangan itu.

Cambuk kuda itu tidak mengenai Du Mao tapu meringkuk dalam lingkaran dan menggulung segenggam anak panah dari tempat anak panah (tabung tempat panahan yang biadanya di grndong di punggung). He Yan mengulurkan cambuk lagi, melepaskan cambuk di udara. Panah itu jatuh tertiup angin.

Liang Ping, yang menyaksikan seluruh prosesnya dan tercengang, tapi sebelum dia menyadarinya, cambuk He Yan sudah ditujukan padanya. Dia terkejut dan buru-buru menunggang kudanya untuk menghindarinya. Namun, kali ini giliran He Yan yang menyerang. Ke mana dia bisa lari? Dengan tarikan, semua anak panah di tabungnya terlempar ke tanah.

"He Yan!" Du Mao sangat marah.

"Aku pikir instruktur tidak ingin aku memanah," He Yan tersenyum seolah dia tidak melihat ekspresi jeleknya, "Tapi aku juga tidak ingin kalah. Jadi aku tidak punya pilihan selain mencegah orang lain menembakan panahnya."

"Ha ha ha!" Di belakangnya ada tawa Ma Da Mei. Dia tidak gugup atau marah sedikit pun. Sebaliknya, dia bersemangat tinggi, "Pemuda ini cukup pintar. Aku tidak tahu apakah kamu dapat menerima panahku ini atau tidak."

Sudut bibir He Yan sedikit terangkat, "Bagaimana mungkin aku melakukannya? Aku tidak akan mengambil panahmu."

Keterampilan berkuda Ma Da Mei luar biasa. Sulit untuk melakukan kontak (berpapasan, bersinggungan), tapi itu tidak masalah. Selama dia tidak memiliki target untuk menembak setelah tikungan, dia harus bersaing dengannya untuk menentukan siapa yang akan mencapai akhir terlebih dahulu.

Dia dan Ma Da Mei saling berhadapan. Dia menembakkan panah, dan Ma Da Mei menembak untuk memblokirnya. Ma Da Mei menembakkan panah, dan He Yan meniru gerakannya untuk menghalanginya. Selama waktu ini, mereka telah meninggalkan Liang Ping dan Du Mao.

Mereka berada di jalan buntu, jadi mereka membuat belokan terakhir. Tidak ada yang bisa mengenai sasaran. Pesaing yang tersisa harus fokus pada balapan untuk mencapai garis finish.

Ma Da Mei dengan lucu menatap He Yan, "Anak muda, kamu benar-benar berbakat." Dia mengayunkan cambuknya, dan kuda itu berlari di udara dengan mudah.

He Yan melihat punggungnya dan memuji, "Itu benar. Ada banyak orang kuat di bawah langit yang luas."

Mengepalkan tali kekang dengan erat, dia mengikutinya.

[END] (BOOK 1) Legend of Female General / (translated by RahayuYogantari)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang