Part 37

28.4K 3.9K 231
                                    

Astagfirullah ochi.... Kenapa balik lagi??

___________

"Haechan hyung, selesai..." ujar Jeno, ia memegang lap pel disatu tangannya.

Haechan mengangguk pelan sambil tersenyum, "karena kalian sudah selesai, ayo bilas pakaian kalian untuk yang terakhir."

Mereka mengangguk setuju, lalu berjalan ke arah baskom milik mereka. Setelah itu, mereka membilasnya dengan air bersih yang Haechan berikan dan menaruhnya di dalam keranjang yang sudah disiapkan sebelumnya.

"Sekarang kita gunakan mesin pengering agar pakaian kalian bisa cepat kering." ujar Haechan, ia berjalan menuju mesin pengering yang berada disebelah kanannya.

"Kenapa kita tidak langsung menjemurnya?" tanya Jisung dengan kepalanya yang dimiringkan.

Haechan terkekeh pelan, sebelum ia menjawab Jeno menyelanya terlebih dahulu.

"Ini malam hari Jisung, matahari tidak ada. Jika kita bergantung pada angin saja waktu untuk mengeringkan pakaian akan menjadi lebih lama. Kita tidak bisa mengembalikannya jika pakaian ini belum kering." jelas si sulung.

Haechan mengangguk setuju, "itu benar, ditambah nanti pakaian kalian akan menjadi bau apek karena jamur."

Jisung mengangguk pelan, ia setengah mengerti dan setengah tidak. Tapi agar ia terlihat pandai maka ia harus mengangguk tidak peduli ia benar-benar mengerti penjelasan itu atau tidak.

Chenle hanya mendengarkan, diam-diam ia mencatat semua pelajaran hari ini dalam benaknya agar ia tidak mudah lupa saat mencuci baju dimasa depan.

Haechan membuka mesin pengering itu, memasukkan pakaian ketiga anak-anak itu satu per satu, lalu mengatur waktu pengeringan dan menutupnya kembali. "Nah, sekarang kita hanya tinggal menunggunya untuk mengering. Sebaiknya kalian ganti pakaian kalian, lalu bersiaplah untuk tidur. Biar hyung yang menyelesaikan sisanya."

Mereka mengangguk patuh, lalu keluar dari ruang cuci dan membiarkan sisa pekerjaan pada Haechan. Sebenarnya mereka masih ingin melakukannya sendiri, namun ini sudah cukup larut dan sudah waktunya untuk tidur. Jadi mereka menyerah untuk membantu dan memilih untuk tidur agar besok bisa bangun tepat waktu.

Tepat ketika ketiga anak itu sampai di tangga, si sulung tampaknya mengingat sesuatu dan dia kembali berbalik lalu berlari kembali ke ruang cuci.

"Haechan hyung..." ujar Jeno dengan nafas yang tersengal-sengal.

Haechan berbalik dan menatap Jeno penuh tanya, "ya Jeno?"

"Apakah papa akan pulang tepat waktu?" tanya Jeno penuh harap.

Haechan tersenyum, ia mengerti apa yang dimaksud anak itu. "Tentu, jika tidak ada masalah saat penerbangan pulang maka dia harus bisa sampai disini tepat waktu."

Jeno mengangguk paham dan menunduk. "Aku ingin papa menepati janjinya..." gumamnya lirih.

Karena merasa iba, Haechan mendekat padanya dan mensejajarkan tingginya dengan si sulung. "Jika Jeno yakin pada papa, dan percaya dia bisa melakukannya maka papa pasti akan datang tepat waktu untuk menonton penampilan Jeno."

Jeno menatap pengasuhnya itu dengan ragu, "tapi selama ini papa jarang menepati janjinya hyung... Dia selalu melewatkan semua penampilan penting kami disekolah..." nadanya penuh kekecewaan, bahkan matanya meredup.

Haechan berusaha untuk tetap tersenyum dan mengelus pundaknya pelan, "jarang bukan berarti tidak pernah, Jeno harus mengerti dengan pekerjaan papa oke? Karena sebenarnya papa juga pasti sangat ingin meluangkan waktunya untuk menonton buah hatinya saat tampil di acara sekolah..."

Ia juga merasakan apa yang Jeno rasakan, ayahnya yang seorang penjudi dan pemabuk tak pernah meluangkan waktunya untuk menonton Haechan saat ia masih di sekolah dasar apalagi saat ia masuk sekolah menengah. Selalu saja ibunya yang melakukan itu semua, Haechan terkadang merasa iri pada teman-temannya yang bisa datang dengan orang tua yang lengkap.

Hanya setelah ibunya berpisah dari sang ayah, dan menikah kembali dengan ayah Renjun barulah ia merasakan kasih sayang ayahnya yang hilang. Tapi, rasanya berbeda meskipun ayah tirinya yang menghadiri acara sekolah. Karena itu bukan ayah biologisnya, dan kebanggaan yang terpancar dalam ekspresinya juga tidak sebesar milik ayah dari teman-temannya.

Haechan hanya bisa bersyukur dan merasa cukup dengan itu semua, ia tidak ingin meminta lebih karena mengerti dengan posisinya. Meski ia dekat dengan saudara tirinya yang beberapa bulan lebih tua, tapi jika harus berbicara dengan ayah tirinya Haechan masih segan dan canggung. Walaupun ayah tirinya itu sangat baik.

"Aku iri dengan teman-temanku..." gumam Jeno sambil menunduk lesu, kedua tangannya terkepal.

Seketika lamunan Haechan tentang masa lalunya menjadi buyar, ia menatap wajah si sulung yang biasa tenang kini memiliki emosi kesedihan dan kekecewaan yang samar.

Ia menarik anak itu kedalam pelukannya dan mengelus kepalanya dengan lembut, "Hei... Jangan sedih, hyung ada disini. Jika papa tidak bisa datang tepat waktu, atau tidak bisa datang kita akan melakukan panggilan video agar papa bisa melihat penampilanmu.."

Jeno tidak menjawab, dia hanya diam dan mengeratkan pelukannya pada Haechan. Tak lama, sebuah isakan samar bisa Haechan dengar dan bahunya menjadi hangat.

"Selalu aku yang mengalah... Kenapa... Hikss... Aku tidak pernah meminta apapun pada papa... Hikss.. Kenapa..." lirih Jeno, suaranya parau dan bergetar. "Chenle dan Jisung selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan... Hikss... Kenapa aku tidak bisa... Kenapa aku tidak boleh meminta sesuatu..."

Haechan tak tega melihat si sulung menjadi rapuh seperti ini, anak yang selalu menjadi pilar dari adik-adiknya kini terlihat lemah dan rapuh. Anak yang selalu terlihat kuat dan bijaksana, kini menghilang dan digantikan dengan perasaan egoisnya yang menginginkan sesuatu.

Sedewasa apapun Jeno, sekuat apapun dia ketika sang ayah membawa wanita ke rumah untuk dijadikan ibu mereka meski ditentang oleh si kembar, dan berakhir dengan Jeno yang dimarahi ia tetaplah seorang anak yang baru berusia tujuh tahun yang menginginkan kasih sayang orang tuanya.

Mungkin permintaannya terdengar sepele bagi orang dewasa, tapi itu amat berarti baginya yang sangat jarang merasakan momen ayah dan anak bersama sang ayah. Perasaan iri ketika mendengar teman-temannya membanggakan ayah mereka saat mengobrol santai disekolah membuat Jeno ingin membanggakan ayahnya juga.

Ia hanya bisa berbohong saat mereka bertanya apa ia pernah memancing bersama ayahnya, ia hanya bisa tertawa hampa saat Hendery mengatakan bahwa ayahnya mengajari dia bersepeda, dan ia hanya bisa tersenyum pahit saat melihat Yiyang bermanja pada ayahnya ketika jam pulang sekolah. Jika boleh jujur, ia ingin melakukan hal-hal yang bisa dilakukan ayah dan anak seperti teman-temannya.

Ia sudah bosan membuat dinding pembatas antara dirinya dan teman-temannya karena perasaan irinya. Ia lelah berpura-pura menjadi sosok kakak yang kuat dimata adik-adiknya, jika ia terus mengalah kapan ia akan merasakan apa yang teman-temannya rasakan? Bisakah Jeno egois sekali ini saja?

To be continued

________

Sebenernya apa yang jeno rasain itu aku rasain juga :) semua penampilanku selama di bangku sekolah mereka lewatin, ga pernah dateng :) bahkan sampe sekarang aku lulus SMA :) iri aja gitu liat temen-temen punya banyak momen sama ortu sedangkan ortuku sibuk sendiri, tapi pas sama adek atau teteh punya banyak waktu

Rasanya aku pengen teriak keras-keras, apa arti aku dimata mereka?

Yahhh itu dia curhatan hari ini, tancuu❤

[END]Mom For UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang