Part 40

29.2K 3.7K 384
                                    

Seperti sebelumnya, yang mau donasi 10k untuk 3 chapter. Nomornya di chapter sebelumnya.

Ey kuingetin lagi jangan panggil thor dong aku bukan anggota avengers, badanku sebelas duabelas sama triplek ga kekar

________

Ketika mereka hanyut dalam lamunan, suara ketukan pintu terdengar diselingi suara panggilan dari pengasuh mereka.

"Jeno, Chenle, Jisung... Saatnya bangun.."

Jeno mengambil inisiatif untuk membuka pintu, dilihatnya Haechan yang berdiri di sana sambil tersenyum secerah biasanya. "Selamat pagi Haechan hyung." sapa Jeno.

Haechan mengangguk pelan, "selamat pagi, ayo sarapan. Hyung sudah memasak untuk kalian."

Mereka mengangguk pelan dan mengikuti dibelakang pemuda manis itu. Yang aneh adalah tidak ada perbincangan selama perjalanan menuju ruang makan, tidak seperti biasanya yang selalu dipenuhi keributan.

"Apa kalian ada masalah?" tanya Haechan pertama kali. Ia menyadari keanehan mereka, walaupun dia hanya menjadi pengasuh dalam beberapa minggu itu cukup untuk mengenal mereka dengan baik.

"Hyung... Bisakah kau merahasiakan perkelahian Chenle dari papa?" pinta Jeno.

Haechan berhenti, ia berbalik dan menatap ketiganya, "kenapa?"

"Papa mengancam kami akan mengirim kami sekolah di Canada jika kami berbuat nakal dan melebihi batas, Chenle berkelahi disekolah. Dan jika papa tahu, dia pasti akan mengirim Chenle ke sekolah mengerikan itu." jelas Jeno.

Haechan mensejajarkan tingginya dengan ketiga anak itu dan tersenyum, "papa kalian pasti punya alasan untuk itu, dia ingin kalian menjadi anak yang baik. Jika kalian tidak ingin dikirim ke Canada dan sekolah di sekolah asrama, maka berusaha lah untuk menjadi anak yang baik. Buat papa kalian bangga dengan kalian."

Mereka diam, apa yang dikatakan Haechan memang benar. Selama ini mereka belum pernah membuat sang ayah menatap mereka penuh kebanggaan seperti ayah teman-teman mereka, dan mereka juga belum pernah melakukan sesuatu yang bisa dibanggakan.

Ahhh... Lalu bagaimana dengan nasib mereka nanti? Bagaimana jika ayah mereka tahu bahwa Chenle berkelahi dan mengirimnya ke Canada? Apa yang harus mereka lakukan?

Semua pertanyaan itu terus berputar di kepala mereka, Haechan yang menyaksikan keputusasaan mereka hanya terkekeh kecil.

"Hyung punya cara untuk membuat kalian di ampuni oleh ayah kalian." ujar Haechan.

Jeno mendongak menatap wajah manis pemuda didepannya dengan penuh harap, "hyung tolong beritahu kami caranya..."

"Berkata jujurlah..." jawab Haechan.

"Apa??" ketiganya tersentak.

"Jika kalian berkata jujur dan menjelaskannya sendiri pada ayah kalian, lalu meminta maaf padanya dan berjanji untuk mengubah sikap, pasti ayah kalian akan memperhitungkan kembali keputusannya." jelas Haechan. "Dia bahkan akan merasa bangga jika kalian bisa berkata jujur."

"Kenapa?" tanya Jeno penasaran.

"Tidak ada orang yang menyukai kebohongan didunia ini, dan begitu juga dengan ayah kalian. Jika kalian berbohong padanya dan bahkan menyembunyikan kebenaran untuk waktu yang lama, dia pasti akan marah besar saat mengetahui yang sebenarnya." jelas Haechan dengan sabar.

"Tapi kami takut untuk mengatakannya..." cicit Jisung.

"Apa yang paling kalian takuti?" tanya Haechan.

"Dinosaurus..." jawab Jisung dengan wajah polosnya.

"Kadal besar..." Chenle menimpali.

"...guru matematika.." gumam Jeno.

Haechan menahan tawanya dan menjelaskan. "Nah, anggaplah kalian sedang menghadapi hal-hal yang kalian takuti. Anggap kalian tengah berbicara dengan dinosaurus yang memakai pakaian pink dan memakai topi, bukankah dia lucu? Atau... Seekor kadal besar yang memiliki bulu lebat ditubuhnya, dia tidak terlihat ganas bukan? Dan... Guru matematika yang baik sedang memujimu karena nilai yang kau dapat sangat baik. Bagaimana? Itu tidak sulit bukan?"

Mereka membayangkan apa yang Haechan katakan, Jisung terkikik geli saat membayangkan dinosaurus imut dengan pakaian pink dan topi yang senada. Bukankah itu mirip ibu Huening?

Sementara Chenle membayangkan seekor kadal besar dengan bulu lebatnya, itu tidak terlihat seperti kadal. Itu lebih... Seperti anjing besar?

Si sulung Jeno membayangkan guru matematika yang mengerikan berubah menjadi Haechan, yang memujinya di depan kelas karena mendapat nilai yang bagus. Ia mengangguk puas, itu tidak menyeramkan.

"Kami mengerti!" ujar ketiganya serentak, Haechan tersenyum lembut dan mengusap kepala mereka bergantian.

"Karena kalian sudah mengerti, ayo kita sarapan." Haechan berdiri dan kembali berjalan menuju ruang makan. "Ah ya, mungkin ayah kalian akan pulang hari ini."

"Benarkah??" Jisung berlari ke samping Haechan dengan antusias.

Haechan mengangguk.

"Lalu... Papa akan datang ke acara sekolahku?" tanya Jeno dengan ragu.

"Tentu, dia akan datang." jawab Haechan.

Jeno tersenyum lebar, pipinya yang memiliki lemak bayi memerah. Matanya berkilau dan memancarkan antusiasme yang dimilikinya, ia tidak sabar untuk tampil di depan sang ayah nanti.

Setelah itu mereka sarapan dengan gelak tawa dan candaan yang menyelingi mereka. Terkadang juga Jeno akan menceritakan kisah yang menurutnya seram pada dua adiknya, yang mana membuat Jisung hampir menangis ketakutan. Alhasil Chenle melemparnya dengan anggur yang ada di piring buah. Haechan hanya bisa menghela nafasnya melihat kekacauan di sana.

"Saatnya berangkat sekolah, ayo." ujar Haechan memisahkan mereka.

"Lalu bagaimana dengan Chenle? Dia sedang dalam masa skorsing bukan?" tanya Jeno dengan bingung.

Haechan menatap si pemilik nama dan ternyata ia juga tengah menatapnya dengan bingung. "Hyung akan membawamu ke tempat saudara hyung, apa kau ingat orang yang menolong kita hari itu?"

Chenle mengangguk kecil, ia samar-samar ingat wajah dua orang yang menolongnya saat ia hampir diculik. "Saudara tirimu kan hyung?"

"Ya, dia sudah setuju untuk menemanimu." jawab Haechan.

"Baiklah kalau begitu..."

"Ayo berangkat!!" Jisung berseru sambil berlari menuju ruang tamu.

"Pakaiannya!!" seru Chenle, ia langsung berlari menuju tangga dengan tergesa-gesa. Kedua saudaranya yang baru ingat langsung mengikutinya ke kamar mereka.

Untungnya mereka masih dirumah jadi mereka tidak akan merepotkan Haechan untuk membawanya nanti. Setelah membawanya, mereka memasukannya kedalam tas mereka lalu berjalan menuju halaman depan. Dimana Haechan tengah menunggu.

"Maaf membuatmu menunggu hyung..." ujar Jeno sambil sedikit membungkuk.

Haechan tersenyum, "tidak masalah, ayo pergi. Nanti kalian bisa telat..."

Mereka dengan teratur masuk ke dalam  dan duduk di kursi masing-masing, dengan Jisung yang berada ditengah-tengah mereka. Memakai seatbelt, dan duduk diam seperti anak yang baik. Sementara Haechan duduk di kursi pengemudi.

"Kami siap hyung!!" seru mereka dari kursi belakang.

"Baiklah, kita pergi..." ujar Haechan. Ia menyalakan mesin mobil dan melakukannya dengan perlahan, biarpun lambat asal selamat.

Selama perjalanan itu, mereka bernyanyi bersama dengan suara musik dari radio di dashboard mobil. Mendengarkan berita cuaca hari ini, dan merencanakan apa yang akan mereka lakukan nantinya.

Haechan hanya tersenyum saat mendengarkan mereka.

To be continued

________

Satu chapter lagi~

[END]Mom For UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang