Part 74

22.1K 2.7K 120
                                    

Karena aku gak up pagi, jadi aku up double hehe

_______

"Grandma!!" Jisung berseru ketika mendegar suara yang dikenalnya. Namun, langkahnya terhenti tatkala melihat sosok dalam kursi roda. "Papa..." gumam Jisung.

Wajahnya berubah sendu, ia memang tidak suka perilaku ayahnya tapi itu bukan berarti ia benar-benar membenci sang ayah. Melihat orang yang telah membesarkannya selama ini duduk di kursi roda dan yak berdaya, rasanya seperti ada yang menusuk hati Jisung.

Mendengar gumaman dari Jisung, Chenle dan Jeno juga berhenti bermain dan menatap sosok di kursi roda dengan rumit.

"Papa kenapa??" Jisung langsung berlari dan menghampiri Mark yang duduk di kursi roda dengan air mata yang mengalir. Ia memegang kaki sang ayah dan mengusap air matanya dengan kasar. "Kenapa papa pakai kursi roda??"

Chenle dan Jeno tidak mendekat, mereka juga sama terkejutnya seperti Jisung namun rasa kecewa mereka lebih besar dari si bungsu. Belum lagi, ego mereka juga sangat besar dan tidak membiarkan mereka untuk mendekat.

Mark tersenyum miris melihat kedua putranya yang berdiri jauh, lalu mengelus pipi Jisung. Sepertinya mereka masih membenci dirinya...

"Maaf..." ujar Mark dengan suara tercekat, dia mengusap kepala si bungsu. "Maafkan papa... Jisung, papa menyesal..." air matanya menetes ke tangan kecil si bungsu.

Jisung menatap ayahnya yang meneteskan air mata, lalu berjinjit dan berusaha menghapus air matanya. Namun karena ia terlalu pendek, ia tidak bisa mencapai wajah sang ayah. Mark mendekatkan wajahnya agar dia bisa menghapusnya.

Jisung tersenyum dengan air mata yang masih di pipinya, "Haechan hyung bilang, kita tidak bisa membenci seseorang terlalu lama. Jisung tidak benci papa, tapi apa yang papa lakukan pada Chenle hyung dan Haechan hyung terlalu keterlaluan." dia sedikit merengut. "Seharusnya papa meminta maaf pada mereka, bukan pada Jisung..."

Mark semakin menangis mendengar perkataannya, Haechan benar-benar berhasil mendidik ketiga putranya menjadi anak yang baik. Dia merasa gagal menjadi seorang ayah, dialah yang seharusnya mengajari mereka hal-hal ini namun dia tidak melakukannya.

Mark menggenggam tangan kecil Jisung dan mengecupnya, "...bisa bawa papa pada Chenle hyung?" bisik Mark dengan suara parau.

Jisung mengangguk setuju, dia lalu menatap Yoona yang berada di belakang Mark seolah meminta izin. Wanita itu langsung mundur dan mengangguk kecil padanya, pertanda ia mengizinkan Jisung untuk mengambil alih.

Si kecil Jisung mendorong kursi roda Mark dengan perlahan menuju ke kedua kakaknya. Ia penuh semangat dan tidak terlihat kesulitan saat mendorongnya sama sekali.

Ketika mereka berada di depan kedua anak berbeda usia itu, Mark meraih satu tangan mereka masing-masing. Dia mencium tangan kedua putranya dengan air mata penyesalan, ia tidak berbicara dan hanya diam-diam menangis. Tangannya yang memegang dua tangan kecil itu bergetar, ia jadi mengingat mendiang Koeun.

Mendiang istrinya itu pasti akan sangat kecewa dengan apa yang dia lakukan, Mark benar-benar malu pada apa yang ia lakukan sebelumnya. Ia menyesali semuanya, benar-benar menyesal. "Maafkan papa..." bisik Mark pada keduanya, dia terus menggumamkan kata-kata itu disela-sela isakannya.

Hati keduanya menjadi luluh melihat betapa menyesalnya sang ayah, Jeno mengambil inisiatif untuk menggenggam kembali tangan besar Mark sambil mengelusnya sebagaimana Haechan mengelusnya ketika dia merasa sedih.

"Itu bukan sepenuhnya salah papa, kami mengerti. Kami juga salah, maafkan kami pa.." Jeno mendekatkan dirinya dengan kursi roda dan memeluk kaki ayahnya.

"Papa jangan menangis.." tambah Chenle, dia juga ikut memeluk kaki ayahnya. "Kami ingin yang terbaik untuk papa, dan wanita itu bukan orang yang tepat. Kami hanya ingin mengingatkan papa, tapi cara kami salah... Maafkan kami pa.." jelas Chenle, wajahnya dipenuhi penyesalan.

Jisung lalu berlari kecil dan berdiri ditengah kedua saudaranya. "Papa bisa menghukum kami, kami berjanji tidak akan membantah." dia juga ikut memeluk kaki ayahnya.

Mark terharu, dia balas memeluk ketiganya dengan air mata mengalir. Ia bersyukur, benar-benar bersyukur telah dikaruniai tiga malaikat kecil yang diberikan oleh tuhan. Malaikat kecil yang senantiasa melindunginya dan memberikan banyak warna pada hari-harinya.

Yoona menonton keempatnya dari jauh, ia senang putranya menyadari kesalahannya. Dan bahkan mau meminta maaf. Juga, dia kagum pada ketiga cucunya. Mereka bisa menjadi orang yang pemaaf karena didikan dari Haechan, dia semakin yakin bahwa pemuda itulah yang pantas menjadi pendamping Mark.

Sayangnya Renjun tidak mau saudaranya berada di dekat putranya, akan sangat sulit untuk mendapatkan kepercayaan Renjun pada Mark lagi. Ah ya, jangan lupakan Jaemin juga...

Yoona hanya menghela nafas panjang, biarlah. Toh, itu tugas Mark sendiri jika dia benar-benar mencintai Haechan. Ia tidak akan membantunya, dan tidak akan membiarkan siapapun membantu Mark untuk mendapatkan kembali kepercayaan keluarga Haechan.

Biarkan putranya mengalami apa itu perjuangan yang sebenarnya.

Disisi lain, Haechan tengah melihat-lihat apartemen sederhana pemberian Taeyong. Tidak ada yang istimewa, tapi tata letak semua furniture benar-benar pas. Membuatnya terlihat artistik dan elegan dalam kesederhanaan yang dimilikinya.

Ia menyukai apartemen ini.

Meskipun ukurannya jauh lebih kecil dari milik Jaemin, tapi ini lebih nyaman. Apartemen mewah milik calon kakak iparnya itu terkesan glamor dalam suasana monochrome yang klasik, ditambah ada bar mini dan rak khusus anggur yang menambah kesan 'orang kaya' di apartemen itu.

Ia sedikit kurang nyaman karena dia sendiri tidak terlalu kuat untuk minum alkohol, dan suasana khas orang kaya disana selalu membuatnya sadar bahwa ia tidak punya banyak uang seperti Jaemin.

Meskipun tempat tinggal pemuda kaya itu ada banyak, tapi apartemen itulah rumah utamanya. Dia bahkan jarang pulang ke rumah keluarga Na, dan lebih suka tinggal di rumahnya sambil menggoda Renjun.

Dan dia sama sekali tidak takut dengan kemarahan Renjun, sebuah definisi nyata dari seorang masokis.

Memikirkan calon kakak iparnya itu, dia melihat ponselnya bergetar tanda ada panggilan masuk. Ternyata itu Jaemin... Panjang umur!

"Halo?"

"Ahh... Adik iparku sayang, bagaimana kabarmu hmm?? Apa kau kekurangan sesuatu?? Ayo katakan pada kakak iparmu ini.." suaranya terdengar santai dan main-main, namun Haechan tahu bahwa dia sedang menanyakan keadaannya sekarang.

"Aku baik-baik saja Nana, Taeyong hyung dan Jaehyun hyung memperlakukan aku dengan baik. Bibi Yoona dan paman Donghae juga, aku baik-baik saja dan tidak ada yang kurang." jawab Haechan menjelaskan.

"Syukurlah... Aku kega kalau begitu. Dimana kau tinggal sekarang? Itu bukan dirumah bajingan itu kan??" suaranya terdengar mengejek diakhir kalimat.

"Aku tinggal di apartemen milik Jaehyun hyung, bibi Yoona dan Taeyong hyung akan sering berkunjung kemari nanti-"

"Bajingan itu tidak tahu tempat tinggalmu kan??" Jaemin menyelanya.

Haechan terdiam sejenak, lalu menjawab. "Aku tidak terlalu tahu, kau bisa bertanya pada Jaehyun hyung. Nana, jangan membenci Mark terlalu lama... Itu tidak sepenuhnya salahnya..."

"Cukup! Jangan membelanya lagi Haechan! Aku muak mendengar pembelaanmu untuk bajingan itu, jangan katakan apapun lagi mengenai orang tidak tahu diri itu!" nada Jaemin berubah saat Haechan mengatakan mengenai Mark.

"...aku mengerti, kalau begitu kututup teleponnya." dia mematikan panggilan dan menghela nafas panjang.

Jaemin benar-benar membenci Mark, dan dia juga masih sedikit sakit hati karena pria itu.

______

To be continued

See you

[END]Mom For UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang