BAB 34 || TEMPAT BERSEMBUNYI

25 1 0
                                    

Sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang, suatu saat pasti akan menimbulkan rasa bosan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang, suatu saat pasti akan menimbulkan rasa bosan. Begitu juga aku yang hampir setiap hari datang pagi ke sekolah dengan tidak menemukan siapa-siapa di dalam kelas.

Jika biasanya aku akan langsung masuk dan duduk di kursi sambil menunggu sampai teman-temanku datang, kini aku ingin mencoba sesuatu yang baru.

Aku melangkahkan kaki bukan untuk masuk melainkan meninggalkan kelas. Aku kembali turun ke lantai satu dan menyusuri koridor kelas sebelas IPA yang masih sangat sepi sampai tidak sadar tiba di ujung koridor.

Aku memperhatikan jalan setapak di depanku dan seketika teringat dengan kejadian dua bulan lalu, di mana Gia tiba-tiba melabrakku dan aku memilih menenangkan diri di halaman belakang sekolah.

Aku melirik arloji sebelum memutuskan melangkah menyusuri jalan setapak yang akan membawaku ke halaman belakang sekolah ketika melihat masih banyak waktu tersisa sebelum bel masuk berbunyi.

Kondisi halaman belakang sekolah saat ini terlihat lebih bersih dari terakhir kali aku datang. Semak-semak yang awalnya setinggi kepala, kini hanya setinggi lutut, bahkan sampah dedaunan kering yang jatuh dari pohon juga sudah tidak setebal dulu berserakan di atas rumput.

Awalnya aku berpikir ini semua adalah pekerjaan tukang kebun sekolah yang memangkas semak-semak dan menyapu semua sampah itu, sebelum dibuat terkejut dengan keberadaan seseorang yang sedang berjongkok di hadapan tumpukan dedaunan kering.

Lalu kepulan asap yang mengudara membuatku sadar bahwa orang berkaos biru dongker dengan celana abu-abu itu sedang membakar sampah.

Tidak perlu berpikir dua kali untuk menebak siapa orang itu. Karena dari bentuk punggung dan potongan rambutnya saja aku sudah bisa mengenali sosok orang itu adalah Astha. Dan dugaanku terbukti benar ketika ia berdiri lalu berbalik menghadap ke tempat di mana aku berada.

Terlihat jelas bahwa Astha terkejut saat melihatku. Tapi, mulutnya tetap bisu dan enggan mengucapkan sepatah kata pun.

"Lo ngapain di sini?" Jika Astha memilih tetap diam, maka biar aku yang berinisiatif mengajaknya bicara. Di mulai dari sebuah pertanyaan.

Astha tidak langsung menjawab. Ia justru berjalan melewatiku untuk menghampiri sebuah batu besar di mana ia meletakkan tas serta seragamnya.

Setelah mendudukkan diri di atas batu yang muat diduduki tiga orang itu, barulah Astha menjawab. "Lo bisa liat sendiri yang gue lakuin."

Selama ini Astha selalu berjalan menjauh dariku, tapi kali ini aku yang akan mendekat ke arahnya. Sekaligus berlindung dari sinar matahari. Kebetulan tempat Astha duduk berada di bawah pohon yang berdaun lebat sehingga tidak tersorot oleh panas.

Saat ini Astha sedang duduk menggunakan kedua tangannya sebagai tumpuan di belakang. Dengan jarak yang hanya dihalangi oleh batu besar tempat Astha duduk, aku bisa melihat keringat mengucur turun memenuhi wajah cowok itu.

RASA TAK SAMPAI (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang