BAB 6 || TERTANGKAP CEMBURU

1.7K 79 2
                                    

Setelah menerima pelajaran selama tiga jam, akhirnya bel istirahat berbunyi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Setelah menerima pelajaran selama tiga jam, akhirnya bel istirahat berbunyi. Diam-diam aku pun bersorak di dalam hati.

"Baiklah anak-anak karna bel istirahat sudah berbunyi, maka pertemuan hari ini kita akhiri sampai di sini dulu. Bagi yang catatannya belum selesai silahkan dilanjut," kata Ibu Mariam selaku guru mata pelajaran matematika.

Beberapa teman satu kelasku sudah melenggang keluar tak lama setelah Ibu Mariam meninggalkan kelas. Menyisakan beberapa saja yang masih sibuk dengan buku catatan. Termasuk aku sendiri.

"Gue udah selesai, nih. Yuk, ke kantin," ajak Agatha. "Mel, Ra, Dev. Ayo."

"Sabar, Tha. Ini dikit lagi catatan gue selesai." Aku tidak mau repot-repot mendongak untuk melihat Agatha dan lebih memilih fokus pada buku di hadapanku.

"Pinjem punya gue aja entar. Gue udah lapar banget sumpah." Agatha semakin tidak sabar. Ia bahkan langsung menarik buku yang tengah kutulisi.

"Astaga, itu Deva aja masih nulis, Tha." Aku menggerutu. Tapi, Agatha sama sekali tidak merasa bersalah.

"Lo juga buruan," katanya kepada Deva.

Agatha kemudian menarik Melia. "Mel, Lo jangan tidur. Buruan berdiri."

Kami bertiga akhirnya mengalah dengan menuruti keinginan Agatha. Menghindari kenekatan cewek itu yang bisa saja menarik kami seperti kambing ternak.

"Aduh, model aja jalannya gak selelet kalian, loh." Agatha meraih tanganku, Deva, dan Melia lalu menarik kami secara bersamaan.

"Ini apa lagi pake ditarik-tarik. Kantin gak bakalan lari juga," kata Deva yang kesulitan mengimbangi langkah buru-buru Agatha.

Kami sudah sampai di lorong kantin. Untung saja kondisinya sepi sehingga tidak perlu ada orang yang menyaksikan bagaimana Agatha menarik kami bertiga secara bersamaan.

"Emang gak bakal lari. Cuma takutnya meja-meja pada penuh. Masa iya kita makan berdiri," balas Agatha.

Di SMA Harapan Bangsa ada tujuh kantin yang dibagi khusus untuk masing-masing kelas. Di kantin pertama dan kedua dikhususkan untuk kelas sepuluh. Kantin ketiga dan keempat dikhususkan untuk kelas sebelas. Selebihnya kantin kelima sampai ketujuh dikhususkan untuk kelas dua belas.

Meski ada tiga pilihan kantin, tapi aku dan ketiga sahabatku hanya berlangganan dengan satu kantin yang pemiliknya adalah tante dari salah satu teman sekelas kami.

Sebenarnya bukan itu alasan utamanya. Tapi, karena anak-anak dari jurusan IPA lebih banyak makan di sana dibandingkan kedua kantin lainnya.

"Tinggal pindah ke kantin sebelah," ujarku.

"Ogah gue makan sama anak IPS yang hobinya ngomentarin cara orang pegang sendok," tolak Agatha mentah-mentah.

Kami bertiga sontak tertawa mendengar perkataan Agatha. Cewek itu memang selalu frontal dalam mengatakan berbagai hal. Saat pintu kantin sudah terlihat di depan mata, Agatha segera melepas tangan kami.

RASA TAK SAMPAI (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang