Dari awal Adnan sudah berpesan bahwa saat mengikuti suatu pertandingan jenis apapun tidak perlu memikirkan masalah menang atau kalah, yang terpenting berusaha dulu dan tetap bermain dengan sportif.Tetapi tidak bisa dipungkiri jika berbicara tentang lomba setiap orang pasti menginginkan sebuah kemenangan. Tak terkecuali aku yang berharap bahwa kelas IPA 3 bisa menang melawan kelas IPS 4 dalam pertandingan olahraga cabang bola voli.
Di tanggal sembilan belas hari ini semua lomba di cabang olahraga sudah memasuki babak final. Untuk bola voli sendiri sedang berlangsung pertandingan antara kelas dua belas IPA 3 dan dua belas IPS 4.
Pertandingan kali ini cukup menarik perhatian banyak orang karena untuk pertama kalinya selama dua tahun jurusan IPA dan IPS bertemu dalam final untuk memperebutkan juara.
Sorak-sorai dari masing-masing suporter kedua kelas yang sejak tadi memenuhi lapangan harus terjeda selama beberapa menit ketika wasit yang memimpin pertandingan membunyikan peluit tanda istirahat setelah dua babak permainan terlewati dengan poin yang berakhir imbang.
Di mana pada babak pertama kelas IPA 3 berhasil unggul, namun di babak kedua kami kembali harus bersikap waspada karena kelas IPS 4 berhasil menyamakan kedudukan.
Astha, Ihsan, Dafa, Hafiz, Gading, dan Adnan langsung mendudukkan diri di atas tanah berumput di pinggir lapangan outdoor di mana pertandingan berlangsung dengan keringat yang membasahi seluruh tubuh mereka.
Agatha yang berada paling dekat dengan kursi tempat menyimpan minuman bergegas membagikan masing-masing satu botol air dan beberapa lembar tisu kepada mereka.
"Gaes, gue boleh minta tolong gak?" Merasa Adnan berbicara kepada kami semua, aku yang awalnya berteduh di bawah pohon mendekat agar bisa lebih jelas mendengar apa yang akan cowok itu katakan. "Jadi, di babak terakhir nanti kalo bisa kalian gak usah teriak seheboh tadi, yah. Soalnya kita pada gak konsentrasi," jelasnya.
"Mana bisa gitu," protes Agatha. "Kan kita teriak-teriak tujuannya buat ngasih support supaya kalian makin semangat bertanding."
"Kalo emang teriakan itu perlu nanti aja pas kita cetak poin." Hafiz menambahkan.
"Tapi masalahnya ini final, Fiz. Udah seharusnya kita lebih heboh. Gue rela kok teriak sampai suara habis demi ngasih semangat supaya kalian menang." Seperti biasa Agatha selalu ingin mempertahankan pendapatnya.
"Lo kalo dibilangin bisa nurut aja gak?" celetuk Ihsan.
Seperti petir yang menyambar, nada sinis cowok beralis tebal itu mampu membuat bulu kuduk merinding dan membisukan semua mulut agar tidak membantah.
Bukan hanya Agatha, bahkan kami yang sejak tadi memang sudah diam menjadi semakin tidak berani mengeluarkan suara sekecil apapun.
Dua menit kemudian peluit dari wasit kembali berbunyi sebagai penanda bahwa waktu istirahat telah berakhir. Semua pemain dari kedua kelas diminta untuk kembali ke lapangan guna melanjutkan pertandingan di babak terakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
RASA TAK SAMPAI (COMPLETED)
Ficção AdolescenteJudul awal "Just Friend" Peran sebagai pengagum rahasia sudah Adara Ulani jalani selama dua tahun. Selama itu Dara merasa sudah cukup hanya dengan memperhatikan sosok Adhyastha Prasaja secara diam-diam. Suatu hari, ketika tersebar kabar bahwa Astha...