BAB 29 || TAMU BULANAN

30 3 0
                                    

Jika kalian seorang perempuan, kapan kalian merasa dalam kondisi paling sensitif? Apakah seperti aku ketika sedang kedatangan tamu bulanan?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jika kalian seorang perempuan, kapan kalian merasa dalam kondisi paling sensitif? Apakah seperti aku ketika sedang kedatangan tamu bulanan?

Apa yang kalian rasakan ketika sedang datang bulan?

Lagi-lagi apakah seperti aku yang merasakan mood naik turun dan berubah dalam sekejap mata? Yang awalnya senang tiba-tiba sedih. Atau emosinya sulit terkontrol, sampai orang-orang di sekitar bisa terlihat menyebalkan meski hanya berdiam diri? Jika kalian merasakan semua hal itu, berarti kita sama.

Lantas apakah kalian tahu apa penyebabnya?

Di sini, aku bukannya ingin menjelaskan hal itu. Sama sekali tidak karena aku sedang dalam kondisi malas melakukan apapun, termasuk bergerak meninggalkan kelas lalu datang ke kantin seperti yang aku lakukan saat ini untuk menemani ketiga sahabatku yang tidak bisa hidup tanpa ke kantin barang sehari pun.

Sebelum berhasil mendudukkan diri di salah satu kursi kantin, tentu saja aku sempat menolak ajakan Deva, Agatha, dan Melia. Tapi, mereka bertiga tidak menerima alasan penolakan berjenis apapun.

Jika aku berasalan tidak punya uang, maka Deva dengan sepenuh hati akan rela membayar sebanyak apapun makanan yang aku pesan.

Jika aku beralasan tidak bisa berjalan karena kaki kesemutan atau keseleo, maka Agatha dengan suka rela akan memapahku sampai ke kantin.

Atau jika aku beralasan tidak pergi ke kantin karena ingin mengerjakan tugas, maka Melia dengan senang hati akan menemaniku mengerjakan tugas sampai sore di sekolah.

Tapi, meski berhasil memaksaku ikut bersama dengan mereka, bukan berarti kemalasanku hilang dalam sekejap.

Sejak tadi aku hanya diam mendengarkan tanpa tertarik untuk ikut dalam obrolan ketiganya. Begitu juga ketika mie ayam yang dipesankan oleh Deva tiba beberapa menit yang lalu. Bukannya langsung makan, aku hanya mengaduknya tanpa semangat.

Jika bukan karena teguran Deva, entah bagaimana bentuk mie ayam itu karena terus diaduk. "Ra, itu mie ayamnya mau Lo aduk sampai kapan? Buruan makan, kalo dingin nanti rasanya gak enak lagi."

"Oh, iya. Ini gue mau makan, kok." Jika bukan karena ingin menjaga perasaan Deva yang sudah repot-repot memesankan makanan, mungkin aku tidak akan menyendokkan kuah mie ke dalam mulut. Bukan karena tidak suka, tapi karena nafsu makanku sedang menguap entah ke mana.

Karena memang sedang tidak berselera untuk makan, aku tidak menambahkan apapun seperti kecap dan saus. Bahkan setelah mencicipinya sekali, aku kembali menganggur makanan berkuah itu.

"Perut Lo gak bakal langsung kenyang kalo cuma mandangin mie ayam itu, Ra." Setelah Deva, kini giliran Agatha yang menegurku.

"Buset, Ra. Ngaduk mie udah kayak ngaduk bubur. Tercampur rata," celetuk Melia. Ucapannya membuatku meringis, apalagi ketika melihat kondisi mie di mangkukku yang memang sudah tidak karuan bentuknya.

RASA TAK SAMPAI (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang