BAB 98 || PENGUMUMAN KELULUSAN

22 4 0
                                    

Jika ada yang bertanya apa yang paling aku takuti setelah azab Tuhan dan amarah kedua orangtuaku, jawabannya adalah memanjat pohon

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jika ada yang bertanya apa yang paling aku takuti setelah azab Tuhan dan amarah kedua orangtuaku, jawabannya adalah memanjat pohon.

Sewaktu kecil saat masih berstatus sebagai pelajar sekolah dasar, di samping rumah pernah tumbuh pohon jambu air yang batangnya tidak begitu tinggi sehingga mudah dijangkau oleh anak-anak sepertiku.

Meski termasuk pohon jambu berbatang mungil, rasa buahnya cukup manis. Selain aku, sepupu laki-lakiku yang bernama Arjun juga suka memakannya. Seringkali ia datang ke rumah untuk meminta jambu itu kemudian memetiknya dengan cara memanjat lalu aku pasti akan menunggu di bawahnya.

Suatu hari aku sangat ingin makan jambu, tapi kebetulan Arjun tidak datang sehingga aku memberanikan memanjatnya sendiri. Karena memang batangnya tidak terlalu tinggi ditambah banyak dahan yang bisa digunakan untuk berpijak, aku bisa sampai di atas dengan mudah.

Awalnya terasa sangat menyenangkan bisa memetik dan memakan jambu itu secara langsung dari atas pohonnya, sampai tiba saatnya aku ingin turun.

Saat menunduk dan melihat ke bawah kepalaku langsung pusing. Secara spontan kakiku gemetar kemudian menjalar naik ke sekujur tubuhku.

Aku yang sudah berkeringat dingin mulai panik. Karena tidak bisa turun aku pun berteriak memanggil papa dan mama untuk membantuku turun dengan menggunakan tangga.

Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi berani memanjat pohon jenis apapun karena trauma dengan insiden pohon jambu air tersebut.

Pohon jambu air di samping rumahku sekarang memang sudah tidak ada karena telah ditebang oleh papa. Tapi, rasa tegang yang pernah aku alami dulu tiba-tiba menyerang lagi saat aku baru saja tiba di sekolah setelah menghabiskan jatah libur selama dua Minggu lamanya.

Semua anak kelas dua belas memang diminta untuk datang kembali ke sekolah di hari Senin untuk mendengarkan pengumuman hasil ujian. Alasan utama mengapa jantungku mulai berdetak kencang sejak aku meninggalkan rumah sampai memarkirkan motor di parkiran Harsa.

"Dara."

Aku menoleh saat mendengar seseorang memanggil namaku, setelah menggantung helm di kaca spion dan melepas sweater lalu menyimpannya di bagasi, aku turun dari motor kemudian menghampiri Citra yang sedang bersama Anna.

"Lo baru datang, Ra?" tanya Citra.

"Iya," jawabku. "Kalian juga?" tanyaku balik.

Anna menganggukkan kepalanya. "Sama dong. Kirain kita aja yang gak ikut upacara," katanya.

Aku mengedikkan bahu. "Kayaknya gak pa-pa. Toh, kita udah ujian. Kakak kelas dulu juga gak ada yang ikut upacara lagi setelah ujian," ungkapku.

Karena kondisi parkiran sangat panas di jam sembilan pagi, kami pun bersama-sama berjalan menuju pintu masuk ke pekarangan sekolah.

"Kalian mau ke mana? Kelas?" tanyaku saat tiba di koridor kelas sebelas IPS.

"Udah gak bakal belajar juga, kan. Gimana kalo kita ke perpustakaan aja, sekalian gue mau balikin buku paket," ajak Citra.

RASA TAK SAMPAI (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang