BAB 74 || MENYAKSIKAN SUNRISE

13 3 0
                                    

Seperti habis berlari jauh, aku terbangun dengan napas memburu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Seperti habis berlari jauh, aku terbangun dengan napas memburu. Sekujur tubuh berkeringat dan kepala terasa pening.

Belum cukup mimpi buruk yang mengganggu tidurku, rasa panik kembali menyerang ketika menyadari tempat di mana aku terbangun berbeda dengan kamar yang biasa aku tiduri.

Dengan spontan aku menyibak selimut, bangkit dari posisi berbaring, kemudian mengambil ancang-ancang untuk berlari. Tapi, keberadaan Deva, Agatha, dan Kiki yang masih dalam kondisi tertidur menghentikan pergerakanku.

Pandanganku menjelajahi sekeliling. Beberapa saat aku terdiam sebelum tersenyum dengan konyol. "Bisa-bisanya gue lupa," batinku. "Ini kan kita lagi camping."

"Jam berapa sekarang," rancauku. Aku mencari keberadaan handphoneku untuk melihat jam, lalu menemukan benda itu di samping tas yang aku gunakan sebagai bantal saat tidur.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi. Rupanya mimpi menyeramkan tadi tidak benar-benar buruk karena aku bisa terbangun di waktu yang tepat untuk melihat sunrise.

Tidak ingin kehilangan momen langka tersebut, aku pun segera bergegas keluar dari tenda setelah lebih dulu melipat selimut dan menyimpannya di dalam tas.

Hawa dingin langsung menerpa kulitku saat resleting tenda terbuka. Bahkan baju rajut yang membungkus tubuhku masih belum cukup ampuh menghalau udara dingin pegunungan.

Aku melirik tenda di sebelah kanan tempat Indira, Melia, Riana, dan Mira tidur. Belum ada tanda-tanda keempat orang itu bangun. Begitu juga dengan kedua tenda milik anak cowok yang masih tertutup rapat.

Saat melangkahkan kaki meninggalkan tenda, angin ikut berhembus diiringi suara kicauan burung yang seperti mengucapkan selamat pagi.

Aku berjalan ke tepi jurang untuk melihat lebih dekat pemandangan matahari yang perlahan menampakkan dirinya.

Karena bisa menyaksikan sunrise dengan jarak dekat dan jelas adalah kesempatan yang sangat langka, aku pun berniat mengabadikan momen tersebut melalui rekaman video.

Tidak terlalu lama, hanya beberapa detik untuk bahan story sosial media ketika pulang nanti. Sebab sekarang jaringan internet masih sulit ditemukan di ketinggian gunung sekian kaki ini.

"Perlu fotografer?"

Aku menoleh saat mendengar suara. Bulu kudukku langsung merinding saat menemukan sosok Astha sudah berdiri tidak jauh di belakangku.

"Sejak kapan dia di sana?" batinku.

"Sini, sebelum mataharinya semakin meninggi."

Rasa terkejut akibat kehadiran Astha yang tiba-tiba masih belum hilang, tapi cowok itu kembali membuatku melongo karena tindakannya yang berjalan maju lalu berhenti persis di depanku.

"Lo mau ngapain?" tanyaku.

Astha tidak menjawab. Tapi, tangannya terulur untuk mengambil alih handphone dariku sebelum berjalan mundur beberapa langkah.

RASA TAK SAMPAI (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang