BAB 48 || TOKO BUKU

18 2 0
                                    

Suara ketukan yang dilakukan dengan tidak sabar memenuhi indra pendengaranku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Suara ketukan yang dilakukan dengan tidak sabar memenuhi indra pendengaranku. Saat aku berpikir bahwa mungkin itu hanya mimpi, panggilan mama yang menyusul setelahnya membuatku buru-buru membuka mata.

Cahaya matahari yang menyelinap masuk melalui celah jendela menjadi sambutan pertama, sekaligus penanda bahwa hari sudah pagi.

Aku melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Tidak heran mengapa mama sampai harus turun tangan membangunkanku. Padahal biasanya jika mama bangun untuk shalat subuh di jam lima, aku ikut menyusul tak lama kemudian.

Pelan-pelan aku menyibak selimut yang membungkus setengah badanku lalu turun dari kasur dan berjalan menuju pintu untuk membuka kuncinya.

Sambutan kedua pagi ini dari mama yang sudah berdiri di depan kamarku dengan wajah kebingungan.

"Sudah siang. Kamu tidak bangun?" Setelah mengatakan itu, mama membalikkan badan kemudian berjalan ke arah dapur.

Dengan langkah lunglai karena masih belum sepenuhnya sadar, aku ikut berjalan di belakang mama. Tapi, bukan ke dapur melainkan masuk untuk masuk ke toilet.

Saat menoleh ke ruang makan, rupanya sudah ada Fattan yang menunggu di sana.

"Huu, dasar kebo." Fattan meledek, tapi aku memilih mengabaikannya. Hari masih terlalu pagi untuk diawali dengan berdebat.

Sesampainya di toilet, aku langsung mencuci muka menggunakan air dingin. Sensasi dinginnya membuat semua rasa kantukku hilang seketika.

Ketika keluar dari toilet, meja makan yang tadinya kosong kini sudah terisi dengan makanan. Bahkan Fattan sudah lebih dulu menyantap sepiring nasi goreng beraroma nikmat itu.

"Sarapan dulu, Dara." Mama keluar dari dapur menuju meja makan sambil membawa segelas susu putih hangat untuk Fattan.

"Iya, Ma." Aku tidak langsung ke ruang makan, tapi masuk ke dapur untuk membuat susu. Tapi, yang aku buat adalah susu coklat dicampur es.

Setelah segelas es susu coklat itu jadi, aku membawanya ke meja makan dan langsung mendapat teguran dari mama. "Dara, ini masih pagi. Kenapa sudah minum es."

"Sekali-kali, Ma." Aku menarik kursi yang ada di samping Fattan. "Buat ilangin pusing."

"Ngilangin pusing kok pakai es, minum obat dong." Aku meringis mendengar perkataan mama. Padahal beliau tahu bahwa aku tidak pernah suka berurusan dengan jenis obat apapun.

"Siapa suruh begadang, pusing kan jadinya." Fattan nampak tidak merasa bersalah sama sekali setelah mengatakan itu.

"Kamu begadang? Pantas saja bangunnya kesiangan. Ngapain saja kamu?" Gara-gara mulut bocor Fattan, mama sampai mengintrogasiku.

Aku menyengir untuk menutupi rasa gugup. "Baca novel. Tapi, gak sampai tengah malam banget kok, Ma. Itu aja aku ketiduran, hehe."

"Lain kali jangan begadang lagi. Apalagi cuma karna baca novel. Kalo kamu sampai anemia gara-gara keseringan begadang bagaimana. Yang ada kamu masuk rumah sakit. Ujung-ujungnya harus minum obat, kan?" ujar mama panjang lebar.

RASA TAK SAMPAI (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang