BAB 3 || JANJI BERTEMU

2.6K 104 10
                                    

Di saat orang-orang mungkin sedang mengurung diri di dalam rumah karena cuaca di luar sedang panas-panasnya, aku justru membawa motor matic berwarna putih yang sudah menjadi kendaraan pribadiku sejak kelas sepuluh menyusuri ramainya jalan raya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Di saat orang-orang mungkin sedang mengurung diri di dalam rumah karena cuaca di luar sedang panas-panasnya, aku justru membawa motor matic berwarna putih yang sudah menjadi kendaraan pribadiku sejak kelas sepuluh menyusuri ramainya jalan raya.

Sepulang sekolah di jam dua siang tadi, aku hanya mengganti pakaian di rumah lalu kembali keluar untuk menepati janji temu dengan ketiga sahabatku.

Hanya perlu waktu lima menit mengendarai motor untuk sampai di Coffe Lover sebagai tempat janjian kami. Kafe yang letaknya tidak jauh dari Harsa---singkatan dari Harapan Bangsa---dan merupakan tempat tongkrongan kami sejak kelas sepuluh.

Sebelum turun dari motor, aku memilih menunggu kedatangan ketiga sahabatku di parkiran sambil mengirimkan pesan ke grup chat.

CURCOL AREA

Adara Ulani:
Gue udah sampai, kalian di mana?

Agatha Adriana:
Gue di jalan.

Melia Amanta to Agatha Adriana:
Kok bisa main hp?

Agatha Adriana:
Maksudnya baru mau jalan hehe.

Adara Ulani to Melia Amanta:
Lo sendiri udah di mana?

Melia Amanta:
Rumah Deva, lama banget dia.

Deva Meysha:
Gue udah selesai, kok.

Otw nih.

Aku menghela napas melihat betapa leletnya ketiga sahabatku. Padahal rumah mereka juga tidak begitu jauh dari kafe. Terlebih Agatha, dari depan gang rumahnya saja bisa terlihat atap Coffe Lover. Tapi, entah mengapa mereka masih bisa menggunakan jam karet.

Deva Meysha to Adara Ulani:
Lo masuk aja dulu, Ra. Cari tempat di pojok dekat AC.

Adara Ulani:
Suka banget sih mojok.

Deva Meysha:
Kayak Lo gak aja.

Melia Amanta:
Kalian berdua suka mojok?

Adara Ulani:
Tau ah, gelap.

Aku keluar dari room chat grup dan memilih tidak menjawab pertanyaan Melia yang akan berujung panjang. Setelah menyimpan handphone di saku celana, aku pun turun dari motor, melepas helm lalu menggantungnya di spion.

Bagian dinding depan kafe yang terbuat dari bahan kaca memudahkanku untuk melihat kondisi di dalam. Setelah memastikan masih banyak meja yang kosong, aku pun melangkah menuju teras.

Suara lonceng berbunyi mengiringi pintu yang terbuka. Benda itu memang sengaja digantung di atas pintu agar pengelolah kafe bisa tahu saat ada orang yang masuk atau keluar dari sana. Seperti kedatanganku yang langsung menarik perhatian beberapa pengunjung untuk menoleh, termasuk salah seorang pelayan yang sedang membersihkan meja di bagian sudut kiri.

RASA TAK SAMPAI (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang