Lima belas menit yang lalu bel pulang sudah berbunyi. Tapi aku, Deva, Melia, dan Agatha masih belum meninggalkan sekolah. Saat ini kami berempat sedang duduk di bangku depan perpustakaan sambil menikmati fasilitas WiFi gratis.
"Ini kalian mau diam sampai kapan sih?" tanya Agatha tiba-tiba disela keheningan yang melanda.
"Bisa diem gak, Tha. Gue lagi fokus nonton nih," protes Melia yang duduk di samping kiriku.
Sejak tadi cewek itu memang sedang menonton sebuah drama melalui laptopnya. Sementara aku diam sambil bermain game lewat handphone. Sedangkan Deva dari gerakan jarinya yang menari di atas layar handphone, sepertinya ia sedang melihat-lihat sosial media.
"Gue bosan tau. Kalian mah sibuk masing-masing. Main kek kita," ujar Agatha lagi. Jika sedang bosan biasanya Agatha memang selalu berisik seperti itu.
"Main apa?" tanyaku mengehentikan permainan di handphoneku. Lagipula aku bermain hanya untuk mencari kesibukan di saat yang lain fokus pada kegiatan masing-masing.
"Enggak main. Tapi, gue mau ngeramal. Ada yang mau diramal?" tanyanya.
Bukan jawaban atas pertanyaannya yang ia dapat, melainkan sebuah protes lagi dari Melia. "Agatha ... udah gue bilang jangan berisik. Gara-gara Lo pemainnya meninggal."
"Buset, Mel. Gue diam aja di sini perasaan. Mana bisa pemain di drama itu meninggalkan gara-gara gue." Agatha memutar bola mata jengah karena tidak paham dengan jalan pikiran Melia.
Karena Agatha tak kunjung berhenti mengoceh, Melia memilih menyingkir mencari tempat yang lebih hening.
"Ais. Pada gak asyik. Gue ramal Lo aja deh, Ra." Karena sejak tadi hanya aku yang meresponnya, jadi aku pun dijadikan sasaran ketidakjelasan cewek itu kali ini.
Ketidakjelasan ingin meramal padahal ia sama sekali tidak memiliki kemampuan semacam itu.
"Gak usah sok-sokan ngeramal deh, Tha. Lo mana punya bakat," tolakku.
Meski sudah ditolak, Agatha tetap bersih keras. Bahkan ia langsung menarik tangan kananku. "Lo diam aja. Cukup perhatikan," katanya.
Pertama-tama, Agatha mengunci pergelangan tanganku dengan ibu jari dan jari telunjuknya yang dibentuk menjadi lingkaran. Ia kemudian memberi instruksi untuk mengepalkan tangan lalu membukanya lagi secara lebar-lebar.
Deva yang awalnya fokus bermain handphone tiba-tiba tertarik dan ikut memperhatikan apa yang tengah dilakukan oleh Agatha.
"Lo mau ngeramal atau cuma mau mainin tangan gue doang sih, Tha?" tanyaku karena yang Agatha lakukan sejak tadi hanya menyuruh mengepalkan tangan lalu membukanya berulang kali.
Aku berusaha melepaskan tangan yang masih dipegangi Agatha, tapi cewek itu menggenggamnya terlalu erat. "Jangan gerak-gerak, Ra. Gue lagi konsentrasi, nih."
"Emang Lo mau ngeramal Dara kayak gimana, Tha?" tanya Deva.
Agatha menjawab sambil memejamkan matanya. "Gue mau coba baca garis tangan Dara." Meski tidak yakin, tapi aku membiarkan Agatha tetap melakukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RASA TAK SAMPAI (COMPLETED)
Ficção AdolescenteJudul awal "Just Friend" Peran sebagai pengagum rahasia sudah Adara Ulani jalani selama dua tahun. Selama itu Dara merasa sudah cukup hanya dengan memperhatikan sosok Adhyastha Prasaja secara diam-diam. Suatu hari, ketika tersebar kabar bahwa Astha...