BAB 77 || API UNGGUN

22 3 0
                                    

Hari beranjak malam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Hari beranjak malam. Saat jam menunjukkan pukul delapan, kami semua keluar dari tenda masing-masing dan berjalan menghampiri tempat di mana Adnan sudah berdiri bersama Ihsan yang seolah memang sengaja menunggu kedatangan semua orang. Kami berdiri berdampingan hingga membentuk setengah lingkaran.

"Gaes, udah jam delapan, nih. Gimana, kita mulai aja acaranya sekarang atau tunggu jam sembilan?" tanya Adnan tanpa banyak basa-basi langsung ke inti.

"Jangan jam sembilan. Keburu kelaparan kita," sahut Agatha.

"Iya, Nan. Lagian kita juga perlu siapin kayu-kayunya dulu. Pasti itu butuh cukup banyak waktu," kata Indira.

"Ya udah, kalo gitu kita siap-siap dari sekarang. Buat yang bertugas nyiapin makan malam boleh masak sekarang," ujar Adnan.

Deva, Mira, Riana, dan Melia yang bertugas untuk memasak di malam hari beranjak pergi menuju ke tempat di mana peralatan masak berada menggunakan pencahayaan dari senter.

Mereka memang baru akan memasak, karena menu makan malam kali ini hanya mie rebus yang tidak memerlukan waktu terlalu lama untuk dibuat.

"Buat yang gak masak boleh bantu gelar tikar, biar anak cowoknya yang susun kayu." Setelah yang bertugas memasak pergi, Adnan kembali memberi arahan yang langsung kami laksanakan.

Setelah dipersilahkan kami pun membubarkan diri. Aku, Indira, Kiki, dan Agatha mengambil tikar yang memang selalu digunakan ketika makan lalu membawanya ke tengah-tengah tenda didirikan.

Kami membagi tugas agar lebih cepat selesai. Aku dan Kiki bertugas menggelar tikar pertama, lalu Indira dan Agatha yang menggelar tikar kedua.

Anak-anak cowok seperti Adnan,Ihsan, dan Dafa menyusun kayu bakar yang sudah dikumpulkan tadi sore membentuk tumpukan kerucut. Sedangkan Hafiz, Gading, Ghio, dan Astha yang bertugas membawa kayu-kayu tersebut ke tengah tenda.

Karena tidak melakukan apapun, aku, Indira, Kiki, dan Agatha memilih duduk di atas tikar yang sudah kami rapikan tadi.

"Ini kita gak boleh makan dulu apa? Gue udah lapar banget nih," keluh Agatha. Cewek itu memegangi perutnya sambil memasang ekspresi masam.

"Bukannya tadi siang Lo makan banyak roti dan kripik yah?" tanyaku. "Masa udah lapar aja."

Agatha berdecak. Hal yang beberapa waktu belakangan menjadi sering ia lakukan. "Siang tadi itu udah berapa jam berlalu, Ra. Lagian makan banyak camilan tanpa makan nasi juga tetap bakal lapar gue."

"Ya udah tahan, sebentar lagi juga makanan siap," ujar Kiki.

"Masalahnya ini perut gak bisa diajak kompromi, bunyi terus dari tadi," ujar Agatha. Kalo gue mati kelaparan gimana. Sanggup kalian gotong gue turun gunung?"

"Ngapain repot digotong ke bawah, tinggal kubur di sini selesai," sahut Indira.

"Astaghfirullah, tega banget Lo." Agatha bergidik.

RASA TAK SAMPAI (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang