Chapter 38.1: Solo

1.9K 211 53
                                    

Levi, lihat aku.

"Bocah keparat. Jadi, kau berdiri di sana, bahkan bukan untuk dirimu sendiri? Dan kaupikir itu membuatku bangga?"

.... Levi

"Kau benar-benar tak pantas berada di sini." 

....

"Kau lebih dari sekadar mengecewakan. Nilai nol bahkan tak pantas untukmu."

....

Sakit.

Mestinya berwujud api kecil. Namun, di balik mata Eren Jaeger, api menyala dengan kobaran setinggi raksasa dunia dongeng. Beginilah dunia seorang remaja sepertinya.

Masih remaja.

Masih bocah.

Bocah bagi mereka yang mengaku paling dewasa.

Eren terlalu berusaha keras untuk menjadi dewasa bagi seseorang, tetapi ia kembali seperti bocah kerdil, hanya bisa melihat api dan merasakan sakitnya terbakar malam itu.

Apa menurutmu rasa sakit terbakar yang Eren rasakan adalah kelebaian dunia remaja?

Terserah.

Sakitnya nyata bagi Eren.

Dia seorang impulsif, tidak akan berpikir dua kali untuk menonjok muka seseorang di tempat umum atau menangis memperlihatkan kelemahannya. Namun, kali ini ia memilih menangis diam-diam.

Sepanjang menaiki bus yang membawanya pulang ke rumah dari MNTM, Eren menangis tolol seperti anak kecil kehilangan permen.

Tetapi ia lebih banyak menangis karena marah.

Kukunya ditekan begitu kuat ke dalam telapaknya, mungkin berdarah, entahlah, mati rasa. Kakinya bergetar saat ia melangkah turun dari bus. Air matanya tumpah karena sakit dan terlalu marah. Saat mobil MNTM meninggalkannya di pelataran parkir gedung rusun, rasanya seperti Eren telah meninggalkan sepotong badan di suatu tempat. Ia hilang. Ia hancur.

Remaja pasti memilih untuk menyalahkan orang lain lebih dulu ketimbang dirinya sendiri. Eren pun begitu, sewajarnya. Kemarahannya seperti api bertangan banyak, monster kraken dari neraka dengan tangan-tangan tentakel yang cabangnya membakar apa pun yang lewat. Eren marah pada teman-temannya yang berkhianat di rumah karantina. Marah pada tim kreatif. Marah pada para juri. Marah pada semua orang, pada dunia.

Marah pada Levi ackerman.

Marah pada dirinya sendiri.

Yang kalah.

Yang gagal.

Dirinya yang sudah tidak ada artinya.

Eren menghabiskan banyak waktunya untuk bermimpi dan berjuang. Ia yang seorang pemimpi memutuskan untuk berhenti sekarang.

Tak ada rasa lapar. Eren menolak makan.

Eren tak mau mendengar ketukan pintu Armin, Mikasa, Isabel, atau siapa pun di luar sana.

Eren tak ingin menjadi model lagi.

Eren tak peduli apa pun lagi.

Ia mengunci diri berhari-hari. Di atas ranjangnya sepanjang hari rebah. Terkadang duduk, mengusap mukanya yang kacau. Meremas kulit kepalanya dan rambutnya yang diberi ekstensi panjang sebahu.

Saat tidur, ia bermimpi bukan lagi tentang vampir-vampir cebol. Mimpinya mengulangi malam eliminasi menyakitkan di MNTM. Ia bermimpi tentang seseorang yang mengatainya tak pantas berdiri di sana. Rasa sakitnya membuat Eren terbangun. Sakitnya membuat ia mau berteriak, tetapi hanya meninju dan menggulingkan barang-barang yang akhirnya ia lakukan di dalam kamar itu. Ia akan melempar majalah-majalah milik Armin karena model pada sampulnya mengingatkan ia akan pose yang Rivaille sukai. Model yang memperlihatkan garis leher. Mata model yang menghunjam kamera. Ingin ia patahkan majalah itu meski percuma.

HAUTE [RivaEre Fanfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang