Almost Seventeen. Almost.
TITIK air memburamkan cermin kamar mandi. Hidungnya membentuk siluet seperti paruh dan rambutnya kuyup sehabis keramas kini terlihat sepanjang rambut bob Armin, tapi dia bisa melihat jelas pada cermin. Jelas. Sangat. Tak peduli uap lengket menutupi penampakan pori-pori wajah. Bentuknya bundar sebundar topi jerami Armin. Kecil sekecil kacang. Merah padam. Disoroti lebih dekat, akan membentuk bukit dengan puncak siap meletus melelehkan lahar, dengan cincin merah melingkari biji putih menonjol di tengah. Acne, bahasa gaulnya.
Eren bergidik ngeri.
Setahun lalu dia tidak peduli pucuk hidungnya ditumpangi jerawat segede kerikil ladang gandum kakek Armin. Sekarang, melihat setitik kecil saja cukup memicu depresi.
"Jangan dipencet!" teriak Armin dengan mulut berbusa pasta gigi. "Nanti infeksi."
"Drektitude. Menurutmu kenapa bisa begini."
"Remaja wajar saja jerawatan. Aku juga ada satu di jidat karena poni."
"Tapi tidak semengerikan aku. Aku ada dua." Eren menunjuk satu di kening. "Satu di sini, persis tokoh film dewi kahyangan yang keningnya ditempeli manik." Jarinya bergeser ke hidung. "Satu di sini, yang paling bodoh dan mengerikan dilihat dari sudut mana pun."
"Nanti juga sembuh. Biarkan saja atau olesi salep. Aku tahu satu salep paling mujarab dari ekstrak kulit pisang!"
"Kalau ekstrak kulit manggis aku punya untuk pengharum ketiak."
"Ada produk terbaru. Ingat bahwa alam adalah kawan terbaik kita," kata Armin, menyengir lebar dengan gigi kinclong.
Eren mendengus. "Masalahnya siapa yang mau memakai model wajah jerawatan?!"
"Banyak desainer menyukai model wajah berbintik. Ymir dan Marco dianggap wajah berkarakter dan tergolong model kelas atas."
"Gampang sekali kau bicara." Eren terduduk lemas di atas kloset. "Pastilah akibat stres. Besok remedial matematika lagi."
"Kubilang itu jerawat cinta. Yang di keningmu Magnolia. Yang di hidung itu Rivaille."
"Ha ha. Kau lucu."
Armin meletakkan cangkir kumur-kumurnya ke dalam lemari. Ada tulisan 'Kita hidup bersama. Barangmu ya barangku. Barangku ya barangku! STAY AWAY FROM MY CUP.'
Eren menggembungkan pipi. "Cangkir baru? Sir Erwin itu panjang tangan sekali."
"Bukan panjang tangan, tapi ringan tangan. Ngomong-ngomong apa sudah kau menjawab Rivaille?"
Refleksi wajah Eren langsung kusut. "Belum."
"Apa saja yang kau lakukan kemarin memangnya?"
"Untuk sementara ini aku berubah pikiran."
KAMU SEDANG MEMBACA
HAUTE [RivaEre Fanfiction]
FanfictionFotografer yang tak sekadar ingin memerangkap figur bermata hijau ke dalam kamera. Model berpikiran lurus yang menerima tantangan bertaruh tanpa tahu apa risikonya. [Won an Indonesian Fanfiction Awards 2013 for Best Romance Slash] First Published:...