Chapter 17: Still a Brat

18.4K 1.3K 418
                                    

Still a Brat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Still a Brat. Masih bocah. Yang berarti cara bersikap, bukan usia atau ukuran bagian tubuh tertentu. Pun bagi seseorang, kalimatnya mengandung makna berlainan.


JALANNYA mantap bak pria dewasa yang telah berhasil melewati masa tersulit. Lulus sekolah, wisuda sarjana, cari kerja, menikah, bangkrut, mengemis, kaya raya lagi, bandot berharta tujuh turunan. Ibu! Lihat dia sudah hampir tujuhbelas. Ayah! Lihat dia merengkuh eksistensi pria dewasa. Mikasa! Lihat dia akan melampaui panggung fashion show menukar titel model topmu. Armin! Mohon bimbingannya dalam kalkulus selalu. Eren siap melayari bahtera remaja merdeka. Media boleh berkata apa pun tentangnya, dan dia akan menjawab A sampai Z pula.

Eren siap bertemu Rivaille.

Paragraf di atas hanya wacana, karena kesiapannya tidak diiringi keteguhan jiwa raga. Lubuknya melempem. Dia berdiri mati kutu di muka pintu apartemen. Jerawat di hidung masih bengkak, akibat stres plus kurang tidur. Rivaille akan menertawakan atau salah memanggilnya badut. Eren berpikir untuk mundur, memencet jerawat, beralibi jatuh dari sepeda sehingga harus memplester pucuk hidung—ide buruk. Hanya setitik dua titik jerawat akan mengacaukan karier dan membuat pria itu lari. Wajah konyolnya menurunkan kadar kejantanan.

Eren turun ke lobi dan membeli jus dingin di restoran. Toilet pria sepi pengunjung. Eren mencuci muka di wastafel sambil menekan kaleng jus dingin ke hidung, berharap bengkak merah jerawatnya pudar. Meringis-ringis ngilu, dia membubuhkan bedak bayi dengan spons pinjaman. Dia membuat wajah cemberut, lalu merengutkan wajah seserius lelaki matang. Memiringkan wajah ke samping, terlihat bentuk garis rahang yang semakin kukuh. Eren tersenyum.

Senyum berbanding terbalik dengan dada berdenyut cemas kembang kempis.

Pada belokan koridor menuju kamar Rivaille, langkahnya terhenti. Eren melompat ke balik spanduk iklan kamar mandi.

Gadis rambut merah mondar-mandir depan pintu kamar Rivaille. Rupanya ada yang sama-sama galau ingin menampilkan kesan terbaik. Isabel Magnolia gigit jempol sambil menengok ponsel, berkali-kali melihat nomor kamar, mengangguk tanpa arti, menggaruk kepala. Dia tidak berani menekan bel. Eren membayangkan isi kepala gadis itu; "Ah, ini dia kamar abangku. Shit aku belum siap bertemu. Lalu kenapa aku ada di sini. Ah mungkin alamatnya salah. Tak semestinya menekan bel karena alamat belum tentu benar."

Maju mundur seperti cacingan, Isabel menyerah, berjalan pergi dengan letoi.

Eren keluar dari tempat persembunyian, berdebar keras. Dia mengintip apakah Isabel akan memunculkan kepala di balik pilar geometris itu. Kalau gadis itu turun ke lantai dasar untuk berbedak—artinya waktu hitung mundur untuk Eren.

Tak mau buang waktu. Dia meraih kunci dingin dalam kantong. Sudah tidak ditali menjadi kalung. Semut-semut kecil di samping pintu menyaksikannya berjalan tersendat, hanya mereka yang bisa mendengar derit pintu sepelan itu.

HAUTE [RivaEre Fanfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang