"Kalau aku tidak bercanda, bagaimana?"
Hening.
Suara itu datang dari arah lemari yang entah sejak kapan terbuka. Dan Rivaille menyesal sekali. Seharusnya, sebelum membuka pintu tadi, ia mengikat remaja ini di suatu tempat.
Detik itu, Rivaille tahu ia telah gagal menjadi orang tua. Bayangkan Kenny Ackerman saat ini berada di mansion penuh benda seninya di Paris, barangkali sedang mengejan di toilet, menghadapmu sambil tertawa sangat keras. Rivaille membayangkan wajahnya yang penuh caci. Kubilang apa, Pendek? Kau tak akan bisa mengendalikan seorang remaja! Mereka bisa mengulitimu sampai habis dan membuatmu berpikir bahwa otakmu sudah berpindah ke buah zakarmu, bukan di dalam tempurung kepalamu!
Rivaille membenamkan wajahnya dalam kepalan tangan.
Putain.
Eren keluar dari lemari, menampakkan dirinya begitu gagah seolah ia sedang menantang puncak tertinggi dunia. Padahal, ia hanya memperlihatkan diri di hadapan dua lelaki, Jean dan Rivaille.
Dengan tampang paling kalem, Eren bersidekap. "Akuilah, Jean. Aku tahu kau juga menyukaiku meski kau tak mau mengakui itu. Malam itu, saat kita tidur sekamar di hotel Universal Mitras Studio, bukankah kau yang menggendongku dari sofa ke ranjang? Semua perhatianmu selama ini kepadaku, bunga yang kautitipkan kepada Sir Zeke kepadaku ... apa itu kalau bukan suka?"
Jean menganga sangat lebar, rahangnya mungkin bisa jatuh ke lantai. Pipinya memerah. Dan ia tak bisa berkata-kata.
Berdecih, Rivaille spontan menarik tangan Jean, masuk kamar, mengunci pintu itu. Wahai remaja-remaja yang membuatnya gila dan hipertensi, mari akhiri semua ini.
*
Jean Kirstein tampak seperti tahanan perang yang siap mati di tempat itu, atau ia adalah seorang model yang tengah memeragakan pose tentara pembelot paling kaku sebelum dihukum mati. Parasnya merona merah. Syok, kalut, sebagainya. Jean tak mau melangkah lebih jauh dari pintu, siap kabur, tetapi tak berani.
Padahal, lelaki ini tak berbuat salah.
"Tak ada yang perlu kaurahasiakan sekarang. Kau mencariku? Kita bicara di kamar ini," ujar Eren dengan ketenangan luar biasa.
Jean mendelik padanya, lalu pada Rivaille. Di sini kaubilang?!
"Ya, di sini, Muka Kuda. Anggaplah hanya ada kita berdua."
"Mana bisa begitu!"
"Jadi? Apa kau bisa menyangkal perkataanku barusan?" Eren menuding dengan wajah tenang.
"KAU GILA?! ITU SEMUA TIDAK BENAR!"
"Jangan berteriak, Muka Kuda."
"Karena semua itu memang tidak benar! Astaga. Mengapa kau sampai menuduhku—Eren, kenapa kaulakukan ini? Kenapa aku? Kau sengaja melakukan semua ini agar aku tak bisa bersama Mikasa?!"
"Sebelum kau menuduhku yang bukan-bukan, jawab dulu tuduhanku."
"Tuduhanmu? Aku bersumpah kalau ini di luar kompetisi, aku sudah memukulmu. Berengsek!" Jean meninju udara kosong di sampingnya dengan frustrasi. Kepalan tangannya bergetar. "Aku bahkan tak tahu harus mulai dari mana. Baiklah. Dengar, ya, Tukang Cari Mati! Ketahuilah satu hal. Jangan kaupikir karena hampir semua orang di rumah ini menyukaimu, bukan berarti aku pun menyukaimu dengan cara yang sama seperti mereka!"
Eren menatap lawan bicaranya tak percaya. Tentu saja dia tak percaya.
"Aku menggendongmu ke tempat tidur di hotel Universal Mitras Studio? Ya! Kulakukan itu karena kau jatuh berguling ke lantai! Aku sudah mengguncang tubuhmu, sumpah demi apa pun, kau tak bangun, ya kuangkat kau! Akan kulakukan hal yang sama kepada teman-temanku lainnya. Demi Tuhan, demi Ibuku di rumah, aku tak menyentuhmu malam itu! Sedikit pun tidak!"
![](https://img.wattpad.com/cover/65740584-288-k766387.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
HAUTE [RivaEre Fanfiction]
FanfictionFotografer yang tak sekadar ingin memerangkap figur bermata hijau ke dalam kamera. Model berpikiran lurus yang menerima tantangan bertaruh tanpa tahu apa risikonya. [Won an Indonesian Fanfiction Awards 2013 for Best Romance Slash] First Published:...