📳📳📳"Aku hanya ingin bertanya."
"Ya? Tanya apa?" Suara Aldebaran yang lembut masih terdengar.
"Em, temanku... dia, aku dengar akan pergi ke luar negeri. Jadi, aku, aku meneleponmu untuk minta izin, apakah aku boleh---"
"Untuk menemuinya, tidak."
Belum selesai Andin berucap, Al lebih dulu menyela.
"Tidak, tidak, tentu saja tidak. Aku tahu keadaanku sendiri." kata Andin seraya menggerakkan tangan dan kepala tanpa disadari.
Tidak terdengar suara dari sisi Aldebaran setelah Andin berkata demikian. Sebaliknya, Andin justru mendengar suara seorang sedang bicara dengan suaminya tersebut.
Andin diam, tidak mengatakan apa pun dan hanya menunggu. Sampai kemudian, suara pria itu terdengar kembali.
"Apa kau menginginkannnya?" tanya Al lagi.
"Ya?"
"Menelepon temanmu itu?"
Butuh waktu setidaknya beberapa detik bagi Andin untuk menjawab, "Em."
Hening.
"Aku izinkan. Silakan, telepon dia." kata Al memperbolehkan, tapi kedengarannya di telinga Andin seolah ada keluhan di nada suara itu.
"Al?" Panggil Andin.
___
"Aku kepikiran dirimu." kata Andin jujur menyuarakan gelisah di hatinya.
"Kepikiran aku soal apa?"
"Entah hanya perasaanku atau bukan, tapi kau tampaknya cemburu. Pasti tidak kan?"
Hening kembali melanda keduanya. Sampai suara gemirisik terdengar dari sisi Aldebaran.
"Bagaimana kalau iya? Bagaimana kalau yang tadi itu aku memang cemburu?"
Andin membeku, terkejut karena insting tak nyamannya tadi, benar.
"Lalu, kenapa? Kenapa tadi kau mengizinkan aku?" tanya Andin tak mengerti.
Al tidak langsung menjawab, seolah memikirkan kata yang tepat untuk membalas.
"Aku takut kau menganggap aku berlebihan, melarangmu ini itu, meski itu hanya sekedar menelepon kenalanmu saja."
"Dan kau tidak bertanya siapa orang yang mau aku hubungi." ujar Andin menyatakan kebingungannya.
"Hanya satu orang yang dapat membuatmu meminta izin padaku begini, Andini. Teman yang kau maksud, apakah itu lelaki yang aku temui di rumah sakit? Pria yang katamu teman kerja?"
Ternyata, bukan hanya dia saja yang bisa merasakan keanehan itu, Al pun bisa. Buktinya, suaminya itu tahu siapa orang yang ingin dia hubungi, itu sebabnya tadi pria itu sikapnya terasa tak biasa.
"Ya," Andin membenarkan.
"Kau yakin tidak mau menelepon dia?"
Kali ini Andin menggelengkan kepalanya tegas, "Tidak perlu."
"Tidak akan menyesal?" Pancing Al lagi dari ujung sana.
"Tidak. Kemungkinan besar yang dapat membuatku menyesal adalah dengan mengabaikan perasaan cemburumu." bisik Andin dengan wajah terbakar, tapi hatinya penuh kelegaan.
"Aku minta maaf." lanjut Andin dengan tulus dan sungguh-sungguh.
"Sudah aku maafkan." kata Aldebaran renyah.
KAMU SEDANG MEMBACA
After One Night (TAMAT)
FanfictionMerasa bertanggung jawab atas kehamilan pada wanita asing yang telah salah ditidurinya, Aldebaran memutuskan untuk menikahi wanita itu. Namun, bagaimana jika keinginannya tidak berjalan mulus seperti yang dia kira? Andin merasa bahwa bos di tempatn...