27

7.2K 334 31
                                    

Vanessa berdiri di ruang tamu dengan wajah penuh tekad, matanya yang biasanya lembut kini menunjukkan kemarahan yang mendalam. Ia memaksa Mayted untuk segera membawanya pergi dari rumah ini. Tidak peduli berapa banyak orang yang mencoba membujuknya, hatinya sudah bulat. Kakeknya yang sudah bicara dengan lembut, ketiga sepupunya yang biasa ia andalkan sudah mencoba mengajaknya bercanda untuk meredakan suasana, dan bahkan Bundanya sendiri sudah memohon agar Vanessa tidak pergi.

Namun, semua itu tidak mengubah perasaannya. Ia tidak bisa lagi bertahan di rumah ini. Ada sesuatu yang menekan dadanya, membuatnya merasa semakin sesak seiring berjalannya waktu. Jika ia tetap di sini, ia tidak tahu apa yang akan terjadi, mungkin emosinya akan meledak, atau mungkin ia akan tenggelam dalam kesedihan yang mendalam. Yang pasti, ia harus pergi.

"Mbak sayang.. diobatin dulu, ya? Nanti kita keluar kemana pun kamu mau." Ucap Mayted berusaha membujuknya, matanya tertuju pada kedua telapak tangan Vanessa yang terluka robek.

Vanessa melihat ke bawah, pada luka di telapak tangannya yang berdarah. Meskipun rasa sakit itu ada, ia menahannya dengan keras kepala, lebih fokus pada keinginannya untuk pergi.

"Nggak mau, Pak. Aku nggak mau diobatin disini!" Ucap Vanessa dengan keras.

"Kamu bisa kehilangan banyak darah. Sebentar aja, nanti kita langsung keluar, ya?" Mayted tetap berusaha, karena bisa parah nanti jika terus dibiarkan.

"Nggak mau, Pak Teddy! Obatinnya di luar aja! Aku udah muak disini!" Vanessa tetap menentangnya. Mayted menghela napas panjang, ia tahu Vanessa memang sangat keras kepala sekali, tapi ini bukan situasinya. Akhirnya, Mayted hanya terdiam dan berpikir sesaat.

"Yaudah, saya obatin di mobil mau?" Tanya Mayted, karena seingatnya kotak P3K miliknya juga ada disana.

Vanessa mengangguk pelan, tapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dengan gerakan cepat dan tegas, ia berdiri dari tempat duduknya dan melangkah pergi, meninggalkan semuanya di belakang tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Suasana di ruangan seketika menjadi hening, semua mata tertuju padanya, tapi Vanessa tidak peduli. Tekadnya sudah bulat, dan tidak ada yang bisa menghentikannya sekarang.

Saat ia berjalan menuju pintu, Kakek dan Bundanya memanggilnya, mencoba menghentikannya dengan suara penuh harap. "Vanessa, tunggu! Nak, dengarkan dulu!" suara Kakeknya bergetar. Bundanya dengan raut wajah penuh kekhawatiran, juga ikut memanggil, "Vanessa, tolong jangan pergi seperti ini!"

Namun, Vanessa tidak menoleh, apalagi menjawab. Ia melewati mereka dengan langkah mantap, tanpa mengacuhkan panggilan yang terdengar putus asa itu. Pikirannya sudah tertutup oleh perasaan sesak dan kekecewaan yang begitu mendalam. Ia merasa, semakin lama ia berada di sini, semakin tertekan perasaannya. Jadi, satu-satunya pilihan yang terasa benar adalah pergi, meninggalkan semua di belakang.

Setiap langkah yang diambilnya semakin menjauhkan dirinya dari orang-orang yang begitu ia cintai, tapi saat ini, ia merasa itu adalah hal yang harus ia lakukan. Bahkan jika hatinya terasa berat, ia tidak bisa lagi bertahan di dalam rumah yang kini terasa seperti penjara emosional baginya.

Bapak paham, ia mengerti keadaan Vanessa. Cucunya itu tidak akan menggubris siapa pun disaat dirinya sedang emosi dan marah. Ia akan membiarkan cucunya itu untuk menenangkan diri.

"Ted, tolong jaga cucu saya, ya? Maafin saya karena di waktu malam ini kamu seharusnya pulang untuk istirahat. Saya tidak menduga hal ini akan terjadi. Tolong temani cucu saya. Bawa saja Vanessa ke rumah kamu, biarkan dia tenang disana, saya juga merasa tenang karena ada orang tua kamu yang mungkin bisa mengajak Vanessa berbicara." Bapak menepuk pundak Mayted.

"Nggak papa, Pak. Tidak usah minta maaf. Saya akan berusaha membujuk Mbak Vanessa agar bisa tenang." Ucap Mayted dengan pelannya.

"Pak Teddy, maafin saya. Tolong titip Vanessa dulu, ya?" Ucap Bunda Vanessa.

He Fell First and She Never Fell?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang