"Mas, ingat kan cerita teman aku yang Mayzida?" Sahut Vanessa yang kini ikut bergabung dengan Mas ke atas ranjang, laki-laki itu tengah mengetik sesuatu di atas leptopnya. Vanessa menduga mungkin ada pekerjaan yang belum selesai. Mas langsung menoleh ke arah istrinya yang baru selesai mandi dan keramas.
Seketika tanpa diminta Vanessa, Mas langsung menutup leptopnya dan mengambil hair dryer di atas meja rias Vanessa dan mengambil posisi yang tepat untuk mengeringkan rambut istrinya itu.
"Ingat, sayang. Btw, kamu kenapa keramas malam-malam gini? Nggak baik apalagi mau tidur." Mas mulai mengeringkan rambut Vanessa dengan telaten.
"Aku udah nggak keramas tiga hari, Mas. Masa aku mau tidur sama kamu rambut aku bau ruangan operasi? Lagian aku harus mandi wajib juga." Vanessa tertawa kecil.
"Kenapa sama Mayzida?" Tanya Mas, sepertinya istrinya itu ada banyak cerita yang ingin disampaikan malam ini.
"Beberapa hari yang lalu, aku ikut doa bersama lima tahun Alvaro meninggal di rumahnya, di Pesanggrahan. Mayzida undang aku." Vanessa tetap melanjutkan ceritanya walaupun ia membelakangi Mas yang kini masih sibuk mengeringkan rambutnya.
"Yang kamu bilang nggak usah Mas jemput, ya?" Tanya Mas memastikan.
Vanessa mengangguk. "Aku merinding, ternyata udah lima tahun aja. Terus tadi sebelum kamu pulang, aku nggak sengaja nge-scroll galeri ponsel aku, ternyata Alvaro dulu pernah masuk kamera ponsel aku, aku iseng videoin diri aku sendiri kan, terus dia lewat di belakang ikut say hi."
"Tiba-tiba aku kepikiran, kalau Alvaro masih hidup, mungkin mereka udah menikah kali ya, Mas? Aku udah ngebayangin sebahagia apa mereka. Love birds pada zamannya." Tanya Vanessa lagi. Mas seperti sudah terlatih sekali mengeringkan rambutnya, sentuhan suaminya itu sangat membuatnya nyaman dan Vanessa sangat mempercayakan rambutnya kepada Mas.
"Belum tentu, sayang, nggak ada yang tahu. Kalau Alvaro masih hidup, kita nggak tahu dia akan sehat sepenuhnya atau justru bakal sering bolak-balik rumah sakit, sering drop, sering kemotrapi, dan mungkin lebih banyak melakukan pengobatan. Mungkin udah jalannya, sayang, coba kamu pikirin. Seandainya Alvaro masih ada tapi justru keadaannya lebih sulit, pasti kasihan, kan? Pasti jadi Mayzida semakin berat, disaat mereka udah nikah, yang seharusnya banyak kebahagiaan di sekeliling mereka, mungkin bisa berbalik." Kata Mas dengan fokusnya yang tetap mengeringkan rambut Vanessa yang panjang dan tebal itu
"Mayzida harus siap kapanpun kehilangan suaminya dan Alvaro sebagai suaminya juga akan merasa bersalah karena penyakitnya. Kehidupan pernikahan mereka nggak ada bahagia-bahagianya, justru yang ada hanya kekhawatiran, takut kehilangan, hidup nggak tenang karena kerisauan dengan keputusan semesta yang mereka nggak tahu kapan akan terjadi. Itu lebih berat lagi untuk Mayzida hadapi sendirian, sayang." Kata Mas lagi.
"Kehilangan separuh jiwa itu rasanya dunia langsung hancur. Seakan-akan doa yang selama ini diucapkan, Tuhan nggak pernah dengar. Seakan-akan jatuh dan bangun yang berdarah-darah selama ini, nggak ada artinya dan Tuhan seperti tidak mengapresiasikan usaha mereka sebagai manusia. Tuhan nggak mau, Mayzida justru berpikir seperti itu seandainya Alvaro masih ada dalam keadaan yang semakin memburuk." Ucap Mas lagi yang masih telaten mengeringkan rambut istrinya itu.
"Tuhan tahu, Mayzida akan lebih hancur lagi kalau tetap mempertahankan Alvaro di dunia." Sahut Mas, berbarengan dengan mematikan hair dryer. Tak lupa memberikan vitamin ke rambut istrinya dan menyisir rambutnya dengan pelan.
"Itu udah menjadi jodoh Alvaro, sayang. Jodohnya bukan sama Mayzida, tapi kematian." Ucapan Mas langsung menusuk relung hatinya. Takut sekali seandainya itu juga terjadi di kehidupannya.
Vanessa menghela napasnya panjang. "Udah lima tahun, Mas, tapi Mayzida kayaknya belum bisa ikhlas dan rela sama apa yang bukan miliknya lagi."
"Kemarin, waktu doa bersama selesai, ada ustazah yang mau ke makam Alvaro, orang tua Alvaro minta tolong ke Mayzida untuk anterin karena kedua orang tua Alvaro masih harus menyambut tamu yang berdatangan. Akhirnya, aku temenin Mayzida ke TPU di Cipadu. Air mata aku tumpah gitu aja ketika lihat Mayzida yang kesekian kalinya sesegukan di atas makam Alvaro."
KAMU SEDANG MEMBACA
He Fell First and She Never Fell?
Fanfiction"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya dengan dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar. Untuk readers baru, supaya nggak bingung, lebih baik baca dulu "The Qonsequences" baru cerita...