69

4.8K 328 25
                                    

"Mas, aku mual banget. Nggak mau." Rengek Vanessa, kedua matanya sudah berkaca-kaca.

"Iya, pelan-pelan makannya, sayang. Kamu tadi pagi cuma sarapan bubur. Di rumah sakit juga nggak makan, malah ikut operasi." Mas masih setia memegang sendok untuk menyuapi istrinya yang dari tadi terus menolak untuk makan malam.

"Mas, aku nggak bisa, aku lihat nasi aja tuh pengen muntah." Keluh Vanessa lagi, menjauhkan piring yang Mas pegang dari hadapannya.

"Vanessa.. kamu itu lagi hamil. Nggak kasihan sama anak sendiri?" Ucap Mas dengan tegas, karena sudah hampir setengah jam ia merayu istrinya itu untuk makan. Tapi, Vanessa tetap terus menolak. Mas yang menjadi khawatir apalagi ada dua bayi di dalam kandungan istrinya. Bagaimana Mas tidak stress?

"Yaiyalah aku tahu aku hamil! Percuma juga kalau akhirnya aku muntahin, Mas! Aku tuh mual banget! Kamu nggak ngerti!" Vanessa akhirnya kesal karena seakan-akan Mas seperti menganggap dirinya hanya pura-pura. Vanessa tidak segila itu untuk menyiksa anaknya.

"Nggak seperti itu maksud Mas, sayang." Kata Mas dengan pelan. Ia seharusnya lebih berhati-hati untuk sekedar berkata, karena jika salah sedikit saja, Vanessa akan salah paham.

Tiba-tiba, Vanessa beranjak dari sofa ruang tengah, menutup mulutnya dan secepat kilat berlari menuju kamar mandi. Ia muntahkan segala isi perut yang selalu terasa mual baginya itu. Rasanya, Vanessa sangat pusing. Entah kenapa, tiba-tiba ia menjadi mendadak mual setelah mengikuti operasi bedah tadi sore.

Mas meletakkan piring tersebut di atas meja, berlari dengan rasa takut dan khawatir melihat istrinya terus memuntahkan isi perutnya. Mas mengelus punggung dan tengkuknya sesekali. Rasa takut terus menghantui pikirannya melihat Vanessa yang tak kunjung selesai memuntahkan isi perutnya.

"Ke rumah sakit, ya?" Ajak Mas setelah Vanessa terduduk lemas di depan closet. Vanessa menggeleng, istrinya itu justru memeluk Mas dengan lemah. Seakan-akan tidak kuat untuk melakukan apapun karena isi perutnya yang tidak seberapa terisi hari ini keluar semuanya.

"Mas, aku nggak kuat." Vanessa malah menangis, setelah memuntahkan isi perutnya, ia menjadi bingung kenapa rasa mualnya masih terasa hingga ingin memuntahkannya kembali. Tapi, ia pun tidak bisa karena isinya sudah dikeluarkan semua.

"Ya ampun, sayang." Mas ikut memeluk istrinya yang sudah cukup pucat itu dengan perasaan gusar. Keningnya berkerut seperti memikirkan sesuatu dengan keras.

Mas merasa sangat cemas melihat kondisi Vanessa yang tampak sangat lemah. Setelah melihat istrinya tidak bisa bergerak atau bahkan berdiri, ia langsung mengambil tindakan tanpa ragu. Mas menggendong Vanessa keluar dari kamar mandi dengan hati-hati, memastikan tubuhnya yang lemah tidak terjatuh. Sesampainya di kasur, Mas meletakkan tubuh mungil Vanessa dengan lembut.

Namun, di dalam hatinya, rasa khawatir semakin mendalam. Meskipun Vanessa terus menolak untuk pergi ke rumah sakit, Mas merasa itu bukan pilihan yang bijak. Kecemasannya semakin memuncak, karena ia tahu kesehatan Vanessa semakin memburuk, dan tidak ada alasan untuk terus menunda penanganan medis. Perasaan tidak tenang terus menghantuinya, namun ia berusaha untuk tetap kuat dan sabar, mencoba meyakinkan Vanessa untuk menerima perawatan yang sangat dibutuhkan.

Akhirnya, mau tidak mau Mas menelfon dokter kandungan Vanessa, sedikit menjauh dari kamar sebentar dan meminta tolong untuk memeriksa Vanessa di rumah mereka. Setelah mendapat persetujuan, Mas bisa bernapas lega. Mas kembali masuk ke kamar, melihat Vanessa yang nafasnya tidak beraturan, sesekali seperti ingin muntah, mual-mual yang tidak kunjung reda sangat membuat Mas menjadi panik dan tidak bisa berpikir jernih.

"Sayang, sebentar, ya? Mas bikinin teh jahe dulu." Ucap Mas dengan elusan tangannya. Vanessa mengangguk pelan dan Mas segera lari ke dapur untuk membuat teh jahe untuk istrinya.

He Fell First and She Never Fell?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang