Momen berharga yang selama ini menjadi impian Mas menyaksikan Vanessa melahirkan anak-anaknya, kini terasa semakin jauh dari genggamannya. Di tengah perjalanan yang seakan tak pernah cukup cepat, Mas merasakan kehampaan yang mendalam, menyadari bahwa momen yang hanya akan terjadi sekali dalam hidup itu harus dilewatkan. Menemani Vanessa, menggenggam tangannya, memberikan kekuatan di saat paling genting, semua itu adalah harapan yang ia pupuk selama ini. Namun, kenyataan pahit memaksanya menelan kekecewaan yang mendalam.
Di balik kesedihan dan rasa bersalah, Mas tahu bahwa ia harus mengikhlaskan momen itu, betapapun sulitnya. Kesempatan untuk mendampingi Vanessa melewati perjuangan hidup dan mati di ruang bersalin adalah sesuatu yang tak ternilai, tetapi ia kini hanya bisa menitipkan doa, berharap keajaiban dan kekuatan menyertai Vanessa di saat ia tidak bisa berada di sisinya. Keputusasaan berubah menjadi penerimaan yang getir, meski hati Mas hancur.
Perjalanan panjang dari NTT ke Jakarta menjadi saksi dari perasaan hancur dan tidak berdaya yang dirasakan Mas. Dua jam lebih di udara terasa begitu lama, seperti menyisakan jarak yang tak terjangkau antara dirinya dan Vanessa. Sepanjang perjalanan, hatinya dipenuhi doa dan harapan, meski di lubuk hati ia tahu bahwa waktu tidak berada di pihaknya.
Ketika akhirnya ia mendarat di Jakarta, kabar yang ia terima menyayat hatinya lebih dalam. Persalinan Vanessa telah usai. Ia tidak sempat menemani wanita yang dicintainya saat melewati momen paling penting dalam hidup mereka, momen kelahiran anak-anak mereka. Rasa bersalah dan penyesalan kembali menghantamnya, seolah mimpi untuk hadir di sisi Vanessa terlewat begitu saja, tak mungkin kembali. Mas hanya bisa menarik napas panjang, mencoba menguatkan hati yang terasa rapuh. Sekarang, ia hanya ingin segera bertemu dengan Vanessa dan anak-anaknya, meski ia tahu, luka karena ketidakhadirannya di momen itu mungkin akan selalu membekas.
Sesampainya di rumah sakit, Mas tidak memedulikan apa pun selain bertemu dengan Vanessa. Dengan napas yang terengah-engah, ia langsung berlari ke ruang rawat inap, pikirannya dipenuhi kecemasan yang tak terbendung. Sepanjang perjalanan dari NTT, ia tak henti berdoa, berharap Tuhan melindungi wanita yang paling ia cintai. Jemarinya yang terluka karena digigit akibat gugup kini memerah, namun rasa sakit itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa takut akan kehilangan Vanessa.
"Mana Vanessa, Ma?" Tanya Mas dengan nafas yang tidak beraturan melihat Mama berada di sepanjang koridor ruang perawatan.
"Cepetan ke kamar, itu di ruangan 510." Mas mengangguk mengerti dan langsung masuk ke kamar yang diberitahu oleh Mama.
Setibanya di ruang rawat inap, ia melihat Vanessa terbaring lemah di ranjang, wajahnya pucat dan tubuhnya tampak sangat lelah. Mas langsung terdiam membeku melihat istrinya terbaring tidak berdaya. Kedua matanya masih tertutup rapat-rapat. Ia hampir tak mengenali istrinya yang dulu selalu penuh semangat. Mas menghampiri Vanessa perlahan, menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuknya. Ia menggenggam tangan Vanessa yang dingin, menempelkan bibirnya di punggung tangan itu sambil berbisik, penuh penyesalan dan cinta yang mendalam.
Sambil mengucap syukur dalam hati karena kedua anak mereka lahir dengan selamat, hatinya tetap bergemuruh memikirkan kondisi Vanessa yang belum kunjung sadar. Mas merasa hampa, menyadari bahwa perjuangan Vanessa begitu besar, dan ia tidak ada di sana untuk menemaninya. Keinginannya untuk segera melihat kedua anak mereka terpaksa ditahan, karena saat ini, satu-satunya yang ia pikirkan hanyalah berharap Vanessa segera membuka matanya, kembali kepadanya dalam keadaan sehat.
Wajah Mas yang biasanya tenang kini terlihat pucat dan penuh kecemasan, bayangan penyesalan tampak jelas di sorot matanya. Hanya ada beberapa orang di sana, tidak lebih dari lima, semuanya tampak terdiam, membiarkan Mas mendapatkan momen pribadi bersama istrinya yang masih terbaring lemah. Ia menatap wajah Vanessa yang pucat dan begitu rapuh, menyadari betapa besar perjuangan yang telah dilalui istrinya seorang diri. Ia mencoba menahan isak tangis, namun hatinya yang begitu hancur sulit untuk diredam. Di tengah rasa bersalah dan ketakutan yang melandanya, ia menggenggam tangan Vanessa dengan lembut, seolah melalui genggaman itu ia ingin menyampaikan semua cinta dan doanya, berharap Vanessa segera pulih dan tersadar kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
He Fell First and She Never Fell?
Fanfiction"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya dengan dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar. Untuk readers baru, supaya nggak bingung, lebih baik baca dulu "The Qonsequences" baru cerita...