Vanessa menghela napas panjang, membiarkan kelelahan menguasai tubuhnya sejenak. Sepuluh jam di ruang operasi tanpa henti benar-benar membuatnya kehabisan energi. Pundak dan pinggangnya terasa nyeri, dan kakinya yang sudah lelah hampir tak mampu menopang tubuhnya. Ia mencoba bersandar, menenangkan diri di kursi di depan ruang operasi sambil memijat pundaknya yang kaku.
Dengan sisa tenaga, Vanessa membuka aplikasi WhatsApp, berharap menemukan pesan atau kabar dari suaminya. Namun, saat membuka aplikasi, satu-satunya notifikasi yang sempat ia baca tadi hanyalah pesan dari Bintang. Ia mengecek lagi, scroll ke atas, dan semakin lemas saat menyadari bahwa Mas tidak mengirim pesan apapun hari ini. Perasaan kesepian dan lelah bercampur di dadanya. Dalam diam, ia merasakan rindu yang mendalam untuk mendapatkan sekadar kata penghiburan atau perhatian kecil dari Mas.
Vanessa membuka Instagram dan menemukan story terbaru dari suaminya. Foto-foto dan video singkat yang diunggah menunjukkan kegiatan Kakeknya di Papua, diambil dari sudut pandang yang ia kenali sebagai gaya suaminya, sederhana tapi penuh perhatian terhadap detail. Sejenak, Vanessa merasa seolah suaminya sedang memberinya kabar secara tidak langsung. Namun, perasaan ragu muncul. Apakah Mas sungguh ingin mengabari atau hanya sekedar menjalankan tugasnya?
Sudah empat jam sejak unggahan itu, dan Vanessa tidak tahu apakah Mas sudah pulang ke Hambalang atau justru akan pulang larut seperti biasanya. Rasa gengsi bercampur dengan sedikit kemarahan membuatnya enggan menghubungi terlebih dahulu. Vanessa menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi dan kelelahan yang masih terasa setelah operasi panjang tadi.
Awalnya, Vanessa berencana untuk pulang dan mandi di rumah Bintang. Namun, setelah Bintang mengabarkan bahwa Gia dan anak-anaknya dibawa ke Hambalang, ia tak punya pilihan lain selain mandi di rumah sakit. Vanessa tak tega membiarkan kedua anaknya menunggu terlalu lama atau memeluk mereka dalam kondisi penuh risiko banyak kuman dari ruang operasi. Sambil bersiap-siap untuk membersihkan diri, Vanessa merasa kesepian yang mendalam, rindu akan sosok suaminya yang dulu selalu hadir tanpa jarak di antara mereka.
Setelah beberapa menit membersihkan diri dan berdandan, Bintang juga sudah berada di lobby rumah sakit. Segera perempuan itu merapikan barang-barangnya dan langsung menuju mobil Bintang yang sudah berada di depan lobby. Terlihat sepupunya itu berpenampilan acak-acakan, kemeja kancing atasnya sudah terbuka, menggulungkan lengan bajunya, bahkan dasi yang sudah tidak simetris.
"Kenapa? Nggak lagi gila, kan?" Tanya Vanessa yang dari tadi memperhatikan Bintang yang sedang mengetap e-money di pintu tol.
"Lagi pusing sama kerjaan, ada masalah di kantor tadi." Helaan napas Bintang yang terdengar oleh Vanessa sudah mengisyaratkan jika memang ada sesuatu yang terjadi.
Mereka berdua sama-sama saling terdiam selama di tol. Vanessa yang sibuk dengan pikirannya sendiri. Sedang apa Rafa dan Naira? Apakah Naira sudah minum obat? Apakah Rafa baik-baik saja? Atau justru Mas sudah di Hambalang atau belum. Tiba-tiba di tengah rasa kekesalannya tadi pagi kepada Mas, ia justru merindukan Mas disaat mereka sedang perang dingin. Disisi lain, Bintang justru tengah sibuk dengan pikirannya mengenai masalah di kantornya.
KAMU SEDANG MEMBACA
He Fell First and She Never Fell?
Fanfiction"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar. Ini cuma hiburan untuk para cegil. Love, penulis.