Mayor Teddy terkejut ketika memasuki ruangan dan melihat Vanessa tertidur di depan TV dengan MacBook-nya yang masih menyala di atas perutnya. Tubuh Vanessa terlihat terkulai di sofa, kepalanya miring sedikit ke samping dengan rambutnya yang jatuh menutupi sebagian wajahnya. Layar MacBook yang berada di atas perutnya masih menampilkan beberapa dokumen yang terbuka, dan cahaya dari layar leptop itu memantul lembut di wajah Vanessa yang tampak lelah.
Mayor Teddy berdiri sejenak, terdiam, dan memandang dengan campuran perasaan kaget dan cemas. Dia tidak menyangka menemukan Vanessa dalam keadaan seperti ini, terlihat begitu kelelahan hingga tertidur di tengah kesibukannya atau mungkin saat menonton sesuatu di TV. Apa yang dilakukan Vanessa hingga tampak wajahnya lelah dan seperti habis menangis? Mayor Teddy perlahan mendekat, dengan hati-hati agar tidak membuat kebisingan yang bisa membangunkan Vanessa. Dia memandang wajahnya yang damai dalam tidurnya, menyadari gadis itu bahwa sepertinya semalam ada sesuatu yang terjadi.
"Ini bocil tidur semalaman di depan TV?" Tanya Mayor Teddy kepada Rizky yang baru tiba di Hambalang sekitar pukul lima subuh, agaknya sedikit kaget ketika masuk ke dalam rumah dan melihat Vanessa tertidur di sofa depan TV dengan MacBook yang masih terbuka dan menyala tepat di atas perutnya.
"Ya ampun bahaya ini, radiasinya!" Mayor Teddy menyingkirkan benda persegi panjang itu dan meletakkannya di atas meja.
"Semalam, Mbak Vanessa zoom meeting sama teman-teman SMA nya, Bang." Jelas Rizky yang sedang mengeringkan rambutnya menggunakan handuk yang bertengger di lehernya.
"Terus, kenapa Mbak Vanessa nggak dipindahin ke kamar? Atau nggak pindahin MacBook-nya, panas banget ini perutnya karena radiasi. Bahaya banget." Mayor Teddy meraba selimut yang menyelimuti tubuh Vanessa yang menjadi alas MacBook-nya itu diletakkan.
"Panas ini." Gumamnya.
Mayted menghela napasnya kasar, pagi-pagi buta ini ada saja tingkah Vanessa yang membuatnya shock. Baru saja kemarin ia menumpahkan kopi di atas meja kerja Bapak karena ingin menangkap Bobby. Untung saja Mayted secepat kilat mengambil berkas penting dan ponsel Bapak, kalau tidak wassalam sudah.
"Ini tangannya dicakar Bobby?" Mayted salah fokus dengan tangan Vanessa yang terlihat garis merah panjang di tangan kanannya. Yang membuat Mayor Teddy geleng-geleng kepala, udah tahu itu berdarah bukannya diobatin malah dibiarkan saja. Ya Ampun, Vanessa!
Mayted mengambil kotak P3K di lemari di bawah TV. Membuka kotak itu dan mengambil obat merah dan cutton buds. Dengan sepelan mungkin ia mengobati tangan gadis menyebalkan ini agar tidak terbangun. Sempat merintih kesakitan dari ekspresi wajah tidurnya. Mayted meniup luka itu dengan pelan agar cepat kering, karena tidak bisa ditutup plester karena cakaran Bobby terlalu panjang.
"Ini gimana kalau saya udah balik ke batalyon?" Guman Mayted yang masih memandangi Vanessa dengan tangannya yang sibuk meletakkan kembali obat-obatan itu ke tempatnya.
"Ya Allah Tuhan." Mayted semakin shock ketika ia mengangkat Vanessa, bermaksud untuk memindahkannya ke kamar, tapi ia melihat gadis itu malah meniduri bungkusan ciki-ciki dan coklat.
"Anak ini. Untung aja saya sayang." Gerutunya kesal. Walaupun kesal tetap saja ia mengambil sampah itu dan membuangnya ke tempat sampah di dapur. Lalu kembali ke ruang tengah dan memindahkan Vanessa ke kamarnya di lantai dua.
Setelah membaringkan dan menyelimutinya, Mayted menghidupkan lampu tidur dan menutup kamarnya dengan pelan.
"Loh, si bocil terbang? Kok nggak ada disini?" Rajif mendadak kaget karena Vanessa sudah tidak ada di depan TV, karena seingatnya saat ia bangun tidur dan menuju kamar mandi, Vanessa masih tertidur lelap bersama MacBook-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
He Fell First and She Never Fell?
Fanfiction"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya dengan dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar. Untuk readers baru, supaya nggak bingung, lebih baik baca dulu "The Qonsequences" baru cerita...