Akhir dari pertengkaran mereka kemarin tidak memberikan jawaban sama sekali. Pada akhirnya, Rafa dan Naira menghadiri acara perpisahan tanpa kedua orang tuanya, bukan juga dengan ajudan Papanya. Melainkan dengan Oma, Mamanya Mas, Kakaknya Mas dan kedua anak Kakaknya. Kemarin, saat kedua orang tuanya bertengkar dan tidak memberikan solusi apapun, Rafa menelfon Oma malam itu juga. Meminta untuk menemani dirinya dan juga Naira menghadiri acara perpisahan mereka.
Oma yang mendengar curhatan dan cerita cucunya itu ikut sedih dan kecewa dengan anak bungsunya itu. Saat itu juga, ketika Rafa meminta untuk menemaninya, Oma tanpa berpikir panjang langsung setuju dan mengajak anak sulungnya dan kedua cucunya yang sedang menginap di rumah Oma untuk menemani Rafa dan Naira besok. Hari ini, terlewati juga hari yang tidak bisa dibilang bahagia atau dibilang sedih. Ketika teman-temannya saling merayakan acara kelulusan mereka, melempar kebahagiaan dan keharuan bersama kedua orang tuanya, justru Rafa dan Naira biasa-biasa saja.
Sangat menyesakkan bagi kedua anak kecil itu melihat teman-temannya ditemani kedua orang tuanya, diucapkan selamat secara langsung oleh kedua orang tuanya, dirayakan bersama sama oleh kedua orang tuanya, dan melihat teman-temannya dibanggakan secara langsung di acara perpisahan itu. Rafa tidak berekspresi apapun, hanya datar, cuek, dengan tatapan tajamnya. Sedangkan Naira berusaha mati-matian menahan tangis karena iri melihat teman-temannya ditemani kedua orang tuanya di acara kelulusan sekaligus perpisahan sekolahnya.
Padahal Oma, Kakak Papanya, dan kedua sepupunya yang sudah dewasa itu berusaha untuk membuat Rafa dan Naira bahagia. Padahal mereka sudah memberikan segala usaha agar Rafa dan Naira merasakan kehadiran keluarga dan orang tuanya. Tapi ternyata itu semua sia-sia. Setelah setengah hari melewati kegiatan yang membuat Rafa dan Naira tidak merasakan euphoria, kedua cucunya itu meminta langsung pulang, bukan pulang ke rumah mereka, tapi pulang ke rumah Oma.
"Udah, Nai, jangan sedih ya. Ada aku." Ucap Rafa, ia menyusul adik kembarnya itu ke kamar Papanya dulu, karena sedari tadi ia tahu jika Naira tengah menahan rasa sedih, kesal, dan kecewanya dalam satu waktu.
"Aku benci banget sama Papa! Aku nggak mungkin marah sama Bunda, karena selama ini Bunda juga selalu prioritaskan kita dan aku selalu ngerti kesibukan Bunda, capeknya Bunda, sakitnya Bunda karena harus ngertiin Papa dan gantiin Papa di hal-hal penting di hidup kita. Tapi kalau Papa, aku bener-bener nggak bisa mikir." Ucap Naira dengan rasa sesaknya.
"Iya, aku tahu rasanya, tapi jangan benci Papa juga. Papa hidup dan kerja juga untuk kita." Rafa terus menenangkan adiknya.
"Kamu nggak kesal, Raf? Kamu nggak benci atau marah sama Papa? Kamu tuh kenapa diam-diam aja sih? Di sekolah juga biasa aja, nggak ada sedih-sedihnya ngeliat teman-teman kita bahagia banget sama keluarganya tadi." Protes Naira karena Kakaknya itu selalu susah ditebak.
"Ya aku kesal dan marah, tapi aku nggak bisa benci Papa. Kita kan nggak tahu sesusah apa Papa berusaha, Nai. Papa pulang aja kita udah bersyukur. Aku mikirnya pasti Papa juga kesulitan, aku merasa Papa juga capek sama kayak Bunda. Pipu kan pernah bilang, kalau tentara itu waktunya hanya untuk negara dan Mimu juga pernah cerita kalau Mimu juga sering ditinggal, Kakeknya Aiden dan Nenek kita juga sering ditinggal Pipu." Jelas Rafa dengan pelan-pelan, karena ia juga menjaga mood Naira.
"Aku sedih juga, Nai. Tapi aku nggak mau nunjukkin aja di depan umum dan aku juga nggak mau bikin kamu makin sedih." Lanjut Rafa.
"Aku marah sama Papa, aku benci banget sama Papa, Raf.." Naira akhirnya tidak bisa menampung air matanya. Ia sungguh sedih.
"Masa nggak bisa luangin waktunya sebentar aja? Nggak papa deh sejam dua jam Papa hadir. Katanya Papa sayang sama kita, tapi hadir di acara kelulusan kita aja nggak. Datang ambil raport aja nggak pernah, selalu Bunda dan Bunda. Datang ke rapat guru juga Papa nggak pernah, selalu Bunda atau bahkan malah ajudannya yang datang." Naira sesegukan dan Rafa sakit sekali melihat adiknya menangis seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
He Fell First and She Never Fell?
Fanfiction"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya dengan dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar. Untuk readers baru, supaya nggak bingung, lebih baik baca dulu "The Qonsequences" baru cerita...