Malam itu terasa berbeda di rumah mereka. Mas dan anak-anak duduk di meja makan, menikmati aroma masakan yang memenuhi ruangan. Di tengah kehangatan lampu ruang makan, hidangan buatan Vanessa tersaji rapi di atas meja. Hari ini Vanessa terlihat lebih santai dibandingkan biasanya. Tidak ada jadwal operasi atau urusan dadakan yang sering membuatnya sibuk dan lelah. Wajahnya tampak segar meski tanpa riasan. Hanya dengan celemek yang masih menggantung di lehernya, Vanessa membawa satu persatu hidangan ke meja makan sambil sesekali tersenyum kecil kepada Rafa dan Naira yang sudah tidak sabar.
Mas memperhatikan istrinya dengan diam-diam. Ada ketenangan di malam itu yang terasa seperti momen langka bagi mereka. Vanessa yang sepenuhnya ada di rumah, tanpa tergesa-gesa atau terdistraksi oleh pekerjaan. Anak-anak pun terlihat lebih ceria, mungkin karena mereka tahu Bunda mereka tidak sedang terburu-buru.
Sesekali Vanessa membantu Rafa dengan lauknya atau menyeka mulut Naira yang belepotan. Mas tersenyum kecil melihat kehangatan itu. Malam sederhana ini, makan malam bersama tanpa tekanan atau kesibukan di antara mereka adalah sesuatu yang begitu berharga, meski mereka jarang menyadarinya.
"Kamu sama kayak Bunda, doyan masakan Padang." Ucap Mas kepada Naira yang duduk berada di depannya.
"Hehe, enak tahu, Pa. Papa yang aneh bisa-bisanya nggak suka." Ucap Naira yang sesekali menyuapi rendang ayam kesukaannya.
"Omongan kamu persis yang kayak Bunda bilang dulu ke Papa." Mas tertawa mendengar perkataan anaknya, terasa sangat dejavu.
"Kan aku kembaran Bunda, ya kan, Bun?" Sahut Naira kepada Bundanya yang kini duduk di sebelah Papanya.
"Iya dong." Tawa Vanessa yang mengambil nasi untuk Mas.
"Terus aku bukan kembaran kamu, Nai?" Rafa protes.
Naira menghela napasnya. "Ya nggak gitu, Raf."
"Cemburunya Rafa juga mirip kamu, Mas." Sahut Vanessa dengan senyum manisnya.
"Kalau aku?" Tanya Kai dengan polos.
Naira tersenyum tengil. "Kamu anak pungut, nggak mirip siapa-siapa."
"Naira.." Tegur Mas, menatap anak gadisnya yang kini sudah berani membalas ketengilan Adiknya. Sedangkan Rafa tertawa melihat tingkah Naira yang sulit ditebak.
"Papa, lihat Kak Nai nyebelin." Kesal Kai yang sepertinya ingin menangis.
"Pa, lihat Rafa deh, dia juga ketawain Kai. Berarti bener dong?" Ucap Naira yang sengaja memancing keributan dengan Kai.
"Sudah—" Ucapan Mas terpotong karena Naira kembali memancing kekesalan Adiknya.
"Kai, beneran loh. Kamu anak pungut, sifat aku mirip Bunda, Rafa mirip Papa. Sifat kamu yang menyebalkan dan jahil itu nggak ada di antara Papa dan Bunda." Celoteh Naira.
Tadinya, Mas mau menenangkan Kai yang sebentar lagi akan meledak, tapi anak gadisnya itu justru semakin memperkeruh suasana dengan sengaja membuat Kai semakin kesal dan marah.
"Mulai deh perang lagi." Ledek Rafa yang sudah yakin dalam hitungan lima detik, Kai akan menangis.
"Aku benci Kakak!! HUHUHU, Papa! Kak Nai menyebalkan!!" Teriak Kai, sedangkan Naira tertawa terbahak-bahak karena puas sekali membuat Adiknya menangis.
Naira yang diberi tatapan maut dari Papa dan Bundanya hanya cengengesan tanpa dosa. Mas dan Vanessa kompak menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya yang sudah terbiasa menyaksikan berkali-kali pertengkaran Naira dan Kaivan yang mungkin setiap hari selalu ada.
"Nggak, sayang. Kamu anak Papa dan Bunda. Wajah kamu mirip Papa kok. Kak Nai iseng aja." Mas menghapus kedua air mata Kai.
"Makanya, jangan jahilin Kakak terus." Ledek Naira dengan kemenangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
He Fell First and She Never Fell?
Fanfiction"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya dengan dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar. Untuk readers baru, supaya nggak bingung, lebih baik baca dulu "The Qonsequences" baru cerita...