43

7.4K 355 27
                                    

"Beneran loh, Kek. Aku nggak bohong." Vanessa membela dirinya setelah Bapak sedang mengintrogasi kelakuannya semalam di ruang kerja. Lagi-lagi kesialannya adalah beberapa staff maupun sekpri Bapak kembali menjadi saksi, termasuk Mas. Kenapa mereka selalu ada di ruang kerja Bapak disaat dia kena omel?

"Masa iya kamu nggak bisa bedain mana sprite mana vodka, Nes? Kamu bukan pertama kali loh kesana." Tanya Bapak dengan penuh kecurigaan.

"Aku—" Vanessa terbata-bata, memikirkan kata-kata yang tepat.

"Kamu minum seteguk gitu emang nggak kerasa alkoholnya? Ini bulan puasa, Vanessa, sia-sia saja kamu berpuasa kemarin." Bapak semakin menyudutkan Vanessa.

"Aku tuh kehausan, Kakek. Aku beneran nggak ada niat mau clubbing apalagi mabuk-mabukan. Aku pengen yang seger-seger, terus pas udah datang pesanannya aku langsung minum sampai habis karena kebetulan di sebelahnya emang sama-sama warna bening, aku pikir itu sama." Jujur Vanessa, karena memang seperti itu kenyataannya.

"Makanya, sadarnya pas udah habis segelas. Aku beneran nggak sengaja." Ucapnya dengan pelan.

"Enak?" Sindir Bapak.

Vanessa menggeleng pelan. "Biasa aja."

"Terus? Teman kamu minta ganti rugi nggak punya dia kamu habisin?" Tanya Bapak.

"Iya, hehe, aku ganti langsung. Nih ada bukti pembayarannya di mutasi rekeningku." Vanessa menunjukkan hasil mutasi rekeningnya di banking.

"Vanessa Vanessa." Sahut Bapak dengan helaan panjangnya. Bapak juga tertawa mengingat tingkah cucunya ini semalam.

Beberapa staff dan sekretaris pribadi yang berada di sana tak bisa menahan senyum dan tawa kecil mereka melihat tingkah laku Vanessa, cucu kesayangan Bapak. Kehadirannya memang selalu membawa keceriaan, namun juga sering membuat mereka cemas dan kewalahan. Di balik tawa itu, ada rasa khawatir yang tak bisa sepenuhnya dihilangkan, mengingat Vanessa sering kali bertindak spontan dan tak terduga. Bagi mereka, momen-momen bersama Vanessa seperti ini selalu meninggalkan kesan tersendiri, antara terhibur dan sekaligus was-was pada sikapnya yang sulit ditebak, tapi penuh kehangatan yang membuat semua orang tak bisa berhenti peduli padanya.

"Bang, kata gue kalau lo udah nikah sama Mbak Vanessa, setiap lo dinas keluar mending ikat aja di kamar biar nggak keluyuran." Bisik Lino.

"Bener, Bang, nggak ada yang tahu kalau Abang pulang, bisa-bisa dia udah entah dimana dan ngelakuin apaan." Sahut Rajif juga.

"Heh, diam! Dikira Mbak Vanessa tahanan. Ada-ada aja kalian." Ucap Mas yang langsung menghentikan mereka.

Vanessa menggigit bibir bawahnya, ia bersumpah kalau akan kembali menginjak club ataupun bar, sehaus apapun dirinya, ia akan mengecek berkali-kali apa yang ia minum. Untung saja ada Zira bersamanya dan temannya itu tidak mabuk. Vanessa tidak bisa membayangkan kalau Zira tidak ada atau justru ikutan mabuk. Mungkin hari ini ia tidak bisa diselamatkan.

"Kamu sadar tidak? Kelakuan kamu itu bikin semua orang panik dan mengganggu aktivitas orang lain?" Tanya Bapak, terus mengintimidasi agar cucunya ini sadar.

"Ganggu aktivitas maksudnya?" Vanessa kebingungan.

"Kamu ingat tidak siapa yang jemput kamu semalam?" Tanya Bapak lagi dan lagi.

Vanessa mengelupas kulit kukunya dengan gugup, tak tahu bagaimana ia bisa sampai di rumah. Ingatan terakhirnya samar-samar, ia hanya ingat saat masih berada di The H Club, sebelum semuanya menjadi buram dan dirinya kehilangan kendali. Sekarang, dengan sedikit gemetar, ia menggigit bibir bawahnya, menyadari bahwa tidak ada sepotong pun kejadian setelah itu yang masih ia ingat. Perasaan cemas bercampur malu perlahan merayap di dadanya, karena ia benar-benar tak tahu apa yang terjadi, dan itu membuatnya merasa begitu kecil dan tak berdaya.

He Fell First and She Never Fell?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang