Setelah memarkirkan mobilnya di basement RS Pondok Indah, Mas segera keluar dengan langkah cepat. Kekhawatiran dan ketakutan tergambar jelas di wajahnya. Tanpa membuang waktu, ia bergegas masuk ke dalam rumah sakit, hatinya dipenuhi rasa cemas setelah menerima telepon dari istrinya. Mendengar suara istrinya yang panik, ia tak ragu untuk langsung meminta izin sebentar kepada Bapak, meninggalkan Istana Negara dan menuju rumah sakit secepat mungkin.
Suara Vanessa yang terisak saat menelepon membuat hati Mas dilanda kecemasan yang mendalam. Ia merasa stress dan khawatir berlebihan, membayangkan kondisi istrinya yang sedang membutuhkan kehadirannya. Di perjalanan, ia sesekali menahan emosi yang meluap karena terjebak dalam kemacetan yang seolah tidak bergerak. Setiap detik terasa begitu lama, sementara pikirannya hanya tertuju pada Vanessa, berharap ia baik-baik saja dan segera bisa menenangkan istrinya dengan hadir di sisinya.
Mas segera masuk ke dalam lift dan tanpa ragu menekan tombol menuju lantai paling atas, menuju rooftop rumah sakit. Jantungnya berdegup kencang, dan rasa panik membuat keringat mengalir deras di seluruh tubuhnya. Pakaian dinasnya hampir basah oleh keringat yang muncul tak henti-henti. Ketika suara lift berbunyi, menandakan telah sampai di rooftop, ia langsung melangkah cepat keluar, pandangannya mencari sosok istrinya.
Dari kejauhan, ia melihat Vanessa duduk membelakangi, mengenakan jas dokternya yang tampak berantakan dengan noda darah di beberapa tempat. Kepala Vanessa tertunduk dalam, bahunya bergetar, dan sesekali terdengar isakannya yang tertahan. Melihat istrinya dalam kondisi seperti itu, Mas merasakan campuran antara rasa sakit dan keinginan kuat untuk segera menenangkan Vanessa, menyadari betapa beratnya beban yang mungkin sedang ia pikul.
Mas mendekati Vanessa dengan langkah pelan dan hati-hati, tidak ingin mengejutkannya. Saat ia sampai di depan istrinya, ia berlutut, berusaha mencari tatapan Vanessa yang kosong namun dipenuhi kesedihan. Wajah Vanessa tampak rapuh, dan matanya masih basah, air mata mengalir perlahan, menetes di pipinya sebelum jatuh dan membasahi celananya.
Melihat kondisi istrinya yang begitu hancur, Mas merasakan kesedihan yang mendalam. Ia menatapnya dengan lembut, penuh kasih dan ketulusan, siap memberikan ketenangan tanpa perlu berkata-kata, hanya ingin berada di sana untuknya, memberikan kekuatan di tengah kepedihan yang tampak jelas di mata Vanessa.
"Sayang.." Panggil Mas kelewat lembut.
Vanessa perlahan mengangkat wajahnya, menatap dalam kedua mata suaminya yang penuh kepanikan dan kecemasan. Di sana, ia bisa melihat betapa besar rasa khawatir yang menguasai laki-laki yang dicintainya. Keringat masih mengalir di pelipis dan wajah Mas, menunjukkan betapa tergesa dan cemasnya ia untuk segera berada di sisinya. Tatapan penuh cinta dan perhatian itu membuat hati Vanessa sedikit lebih tenang, meski perasaannya masih bergemuruh. Di tengah segala kepedihan yang dirasakannya, kehadiran Mas dengan segala perhatian yang tulus membuat Vanessa merasa bahwa ia tidak sendirian.
"Mas.. aku nggak becus banget jadi dokter." Suara istrinya itu bergetar. Vanessa menatap kedua telapak tangannya yang masih berlumuran darah, Mas juga melihat kedua tangan Vanessa yang gemetar dan meremasnya hingga kukunya yang tajam hampir melukainya.
Mas dengan sigap meraih tangan Vanessa, menghentikan setiap gerakan yang mencoba melukai dirinya. Tanpa sedikit pun memedulikan noda darah yang masih menempel di telapak tangan istrinya, ia menggenggamnya erat, seolah ingin mentransfer seluruh energi positif yang dimilikinya. Melalui genggaman itu, Mas berharap bisa memberikan kekuatan dan ketenangan pada Vanessa, membiarkannya merasakan bahwa ia tidak sendirian. Tatapan penuh cinta dan kepedulian yang Mas berikan adalah ungkapan tanpa kata, meyakinkan Vanessa bahwa ia selalu ada di sisinya, tak peduli seberat apapun situasi yang harus mereka hadapi.
"Mas, aku gagal banget. Aku gagal jadi dokter, Mas." Vanessa kembali menangis sesegukan. Mas yang melihat wajah sedih istrinya itu sangat meremukan hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
He Fell First and She Never Fell?
Fanfiction"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar. Ini cuma hiburan untuk para cegil. Love, penulis.