Hari yang paling tidak diinginkan Vanessa akhirnya datang juga. Hatinya terasa berat, seolah-olah setiap langkah yang ia ambil menambah beban yang menggantung di dadanya. Hari ini adalah hari di mana Mas akan pergi untuk pendidikannya, dan rasanya, Vanessa ingin sekali hari ini tak pernah ada. Ia hanya bisa menunduk lesu, seolah seluruh kekuatan dan keberaniannya menghilang begitu saja. Jika saja ada cara untuk memohon pada Tuhan agar waktu berhenti, atau agar ia bisa terus bersama Mas tanpa harus menghadapi perpisahan ini.
Vanessa sudah tiba di depan rumah Mas, namun rasa berdebar di hatinya tak kunjung reda. Ia bahkan tak berani mengabari Mas kalau ia sudah di sini, seperti ada yang menahan langkahnya. Tubuhnya terasa lemah, pikirannya kalut, dan hatinya berdebar keras seakan bom waktu tengah berdetak, menunggu momen untuk meledak. Hanya bayangan wajah Mas yang menjadi penguatnya, membuatnya berdiri tegap di depan pintu. Namun, ia tahu, begitu melihat Mas nanti, semua kekuatan yang ia coba kumpulkan mungkin saja akan runtuh.
Sesuai janjinya, Vanessa sendiri yang akan mengantar Mas ke bandara, hanya dirinya saja. Entah dirinya akan kuat melihat Mas yang perlahan menjauh meninggalkannya nanti atau tidak. Sepertinya, Vanessa pasti akan kalah hari ini.
Hari ini adalah saat di mana Vanessa, suka atau tidak, harus berlapang dada menerima kenyataan yang tidak mudah. Tidak ada ruang bagi penolakan, bahkan jika ia ingin menentang takdir sekuat tenaga, menghancurkan apa pun yang ada di sekitarnya, semesta tak akan berubah demi melunakkan rasa perihnya. Vanessa tahu, hari ini adalah ujian yang mengajarkannya tentang keteguhan hati, betapa berat sekalipun ia harus menerimanya.
Dalam hati, Vanessa mencoba membangun keberanian untuk menghadapi segalanya, meski pikirannya penuh kekhawatiran akan rintangan yang mungkin datang. Rasanya seperti berdiri di tepi jurang, tahu bahwa ia harus melangkah meski tak tahu apa yang menanti di bawah sana. Tapi, Vanessa paham, tidak ada jalan lain selain maju, menghadapi semua ini dengan kepala tegak, sekuat hati menahan segala gejolak yang siap datang menghantam.
"Ah.. nggak bisa, please!" Vanessa merutuki dirinya sendiri karena seolah di dalam dirinya selalu berkata tidak bisa.
"Sumpah nggak bisa." Gadis itu menempelkan jidatnya ke stir mobilnya, seakan-akan ia sangat putus asa.
"Satu tahun tuh lama." Rengeknya ke dirinya sendiri.
"Apaan sih, Nes, kok nangis?" Vanessa berkaca ke kaca spion tengah di mobilnya itu.
"Ah rese lo, udah makeup cantik gini masa nangis?" Kesalnya pada dirinya sendiri. Vanessa kembali mengoles makeup-nya.
Vanessa duduk di dalam mobil, memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Ia menarik napas dalam-dalam, menahannya sesaat, lalu menghembuskannya perlahan, berusaha mengusir segala pikiran negatif yang mulai menguasai benaknya. Ia tahu, agar tidak terlihat rapuh di depan Mas, ia harus bisa mengontrol emosinya terlebih dahulu.
Beberapa menit ia habiskan untuk menenangkan diri, meredakan debar jantungnya yang masih belum mau berkompromi. Akhirnya, setelah merasa cukup yakin dan stabil, Vanessa membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Dirinya kini tampak lebih tenang meski hatinya masih berat. Ia berjalan menuju rumah, berharap kehadirannya bisa sedikit membantu Mas dalam persiapan hari itu, membuat momen ini tetap bermakna meski perasaan perpisahan menyelimuti.
"Mas." Sapa Vanessa ketika ia melihat Mas sedang sibuk mencari sesuatu di ranselnya.
"Eh sayang, kok nggak ngabarin?" Tanya Mas yang kini mengalihkan pandangannya ke gadisnya itu.
"Duh cantiknya." Puji Mas dengan senyumnya.
"Iya, aku lupa juga karena langsung bergegas kesini." Bohong Vanessa, justru ia sengaja lama-lama di mobil untuk memperkokoh benteng pertahanannya yang kuat entah sampai kapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
He Fell First and She Never Fell?
Fanfiction"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar. Ini cuma hiburan untuk para cegil. Love, penulis.