Setelah melalui berbagai tahapan dan prosedur ketat, akhirnya Vanessa dan Mas berhasil menyelesaikan seluruh proses administrasi yang diperlukan. Dimulai dari persetujuan atasan, keputusan komandan kesatuan, hingga rangkaian tes yang menguji kesehatan, psikologi, dan fisik mereka, keduanya menghadapi semua tantangan tersebut dengan tekad yang kuat. Wawancara bersama komandan kesatuan Mas menjadi salah satu tahap yang cukup menegangkan, namun mereka berhasil melewatinya dengan baik.
Kini, rasa syukur memenuhi hati mereka berdua. Semua usaha, doa, dan kerja keras selama ini seolah terbayar lunas. Bagi Vanessa dan Mas, proses panjang ini bukan sekedar formalitas, tetapi juga ujian ketangguhan dan keyakinan mereka dalam menempuh jalan bersama.
"HUAAA CAPEK POLL!!" Vanessa yang dibaluti pakaian persit seperti lumut yang ia katakan itu berjongkok di hadapan Mas yang masih setia dengan pakaian dinas hariannya.
Mas tak bisa menyembunyikan kekagumannya pada Vanessa. Dia tersenyum, bahkan tertawa kecil, mengingat betapa luar biasa gadisnya itu menjalani seluruh proses pengajuan hari ini. Dari semua rangkaian yang mereka lalui, Vanessa tampil sangat tenang dan percaya diri, menjawab setiap pertanyaan dari komandan Mas dengan mudah, seolah-olah ia telah mempersiapkan diri sangat lama untuk momen ini.
Melihat Vanessa yang begitu menguasai situasi, Mas merasa semakin bangga. Tidak hanya karena keberanian dan ketangguhan yang ia tunjukkan, tetapi juga karena kesungguhannya untuk bersama Mas telah begitu nyata dalam setiap langkah yang ia ambil. Bagi Mas, momen ini menjadi bukti bahwa mereka benar-benar siap menjalani masa depan bersama. Tak ada beban atau tekanan dari wajah Vanessa, gadis itu melakukannya dengan tenang dan enjoy, bahkan komandannya saja memuji Vanessa bisa melewati rangkaian tes dengan sangat baik.
"Good job, sayang. Makasih ya untuk hari ini." Mas ikut berjongkok di hadapan Vanessa dan mengelus lengan gadis itu dengan pelan. Wajah gadis itu yang sudah ia tekuk, pertanda Vanessa sangat kelaparan.
"Keren nggak aku?" Gadis itu mengatakannya sambil tersenyum manis walaupun kedua pipinya sudah merah karena lelah dan hawa udara Jakarta yang panas.
"Banget! Keren banget bu dokter ini." Puji Mas lagi, mengacak puncak kepalanya dengan pelan, sesekali Mas menahan tawanya.
"Mas kalau mau ketawa, ketawa aja! Senang banget ledek aku pake baju lumut ini." Mas langsung tertawa ketika Vanessa menyadari dirinya menahan tawa sedari awal pengajuan hingga akhir.
"Lucu banget, sayang. Gemesin banget, bocil gini pake baju persit." Mas berusaha menghentikan tawanya.
"Udah ih, tapi cocok nggak sih aku pake ini?" Tanya Vanessa yang kurang percaya diri.
"Cocok aja kok." Sahut Mas sambil mengangguk.
"Mau mam, laper." Rengek Vanessa.
"Ayo, mau mam apa?" Tanya Mas, laki-laki itu mengajak Vanessa berdiri dan segera masuk ke mobil.
"All you can eat, yuk?!" Ajak Vanessa histeris girang, karena ia sudah lama tidak makan itu.
Mas tampak fokus mengemudi, dengan pandangan yang sesekali berpindah ke jam tangan di pergelangan kanannya, seolah sedang menghitung waktu yang tersisa. Vanessa yang duduk di sampingnya, memperhatikan kegelisahan Mas. Diam-diam, ia menyadari bahwa Mas belum menjawab ajakannya tadi, seakan ada sesuatu yang mengganjal.
Perasaan penasaran mulai mengusik hati Vanessa, membuatnya bertanya-tanya apa yang sebenarnya tengah dipikirkan oleh Mas. Suasana di dalam mobil terasa hening, hanya diisi oleh suara jalan yang dilalui dan detak jam di pergelangan tangan Mas. Vanessa menggigit bibirnya, mencoba menahan dorongan untuk bertanya, namun akhirnya tak bisa menahan diri lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
He Fell First and She Never Fell?
Fanfiction"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar. Ini cuma hiburan untuk para cegil. Love, penulis.