040

234K 10.3K 809
                                    

⬇⬇⬇

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⬇⬇⬇

Cuaca di Chicago bisa beruah-ubah, dari yang terang dengan sinar matahari lembut menjadi tiba-tiba dingin dengan angin dan suhu mencekam kulit. Hujan adalah sesuatu yang tidak aku bayangkan untuk terjadi di negeri Paman Sam ini. Tapi ternyata hal itu terjadi. Hujan pertama yang turun selama aku berada di Chicago terjadi tadi malam, membuat tidurku sedikit lebih nyenyak. Hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa akhir tahun akan segera tiba, yang mana udara akan lebih dingin dari biasanya. Semerbak bau tanah tertangkap indra penciumanku begitu turun dari dalam mobil Ayah. Aku berjalan di halaman menuju gedung sekolah ditemani dengan awan mendung di atas sana.

Hari ini adalah hari untuk mempublikasikan beritaku yang telah aku tulis 3 hari lalu, dan aku harap semua berjalan dengan baik walaupun kali ini cuaca berkata sebaliknya.

Begitu sampai di koridor loker siswa, langkahku langsung berhenti saat mataku menangkap sosok pria dengan ikat kepalanya, berdiri di depan loker nomor 023-lokerku. Aku menghembuskan napa berat, apa yang pria itu lakukan?

Dia menyadari kehadiranku. Mata singa itu menoleh dengan senyum menyebalkan yang tersungging di wajahnya. Aku berjalan, lebih mendekati pria itu dan berdiri tepat di hadapannya.

"Apa yang kau lakukan, Leo?" Tanyaku dengan intonasi suara datar.

Ia menunduk ke bawah sekilas lalu kembali melihatku, "Berdiri." Jawabnya singkat.

Aku mendengus. Ini masih pagi dan aku tidak dalam mood yang baik untuk berdebat dengannya. Tapi aku tahu, kami berdua tidak akan pernah bisa berbicara normal tanpa umpatan yang keluar dari masing-masing mulut.

"Aku tahu kau sedang berdiri, tapi mengapa kau berdiri di depan lokerku?" Kataku, susah payah menahan diri untuk tidak emosi.

"Karena aku tahu ini adalah tempat pertama yang akan kau datangi ketika sampai di sekolah." Jawabnya, bersandar di loker dengan tangan yang terlipat di depan dada.

Aku menghembuskan napas lagi, "Okay. Tapi apapun yang kau pikirkan, tolong jangan. Aku sedang tidak ingin memulai hariku di sekolah dengan berdebat bersamamu."

Ia terkekeh pelan, "Memangnya siapa yang ingin berdebat?"

"Lalu apa yang kau tunggu? Menyingkir dari lokerku."

"Tidak. Sampai kita berbicara lebih dulu." Katanya datar tapi penuh penekanan seolah tidak ingin dibantah.

"Aku rasa kita tidak memiliki hal yang perlu untuk dibicarakan-"

"Of course we have!" Potongnya cepat.

Aku tidak tahu apa yang pria menjengkelkan ini inginkan, tapi untuk kali ini aku menurutinya. Tanganku berkacak pinggang sambil menatapnya dengan sedikit mendongak.

"Then what?" Tanyaku datar.

"Mengapa kau selalu bersama Dylan?"

"What?"

SWITCHOVER (Book I)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang