V. | Golem Penjaga

64 18 3
                                    

Ann, Fiore dan Lucia terus menyusuri jalan hingga mereka sampai ke sebuah ruang besar yang di ujungnya terdapat pintu elevator turun.

Selepas melewati robot zirah, ada satu kendala lagi untuk mereka lalui. Namun, berbeda dengan bola besi pertama, musuh yang ketiga benar-benar bergerak mengincar mereka. Robot itu berbentuk tabung melayang dengan empat tangan, masing-masing tangan mengeluarkan jenis sihir berbentuk lemparan benda yang berbeda elemen.

"Mundur, Pendek, Florence."

"Tidak perlu kamu katakan juga aku akan mundur!"

Fiore akan segera mengeluarkan panah, sementara Ann mulai mengintervensi dengan tombaknya. Lucia akan mengikuti mereka, tapi tidak menyerang. Ia akan mengayunkan tongkatnya untuk membentuk sedikit perisai sihir, yang pada saat pertama kali tidak tembus ketika robot lawan melempar batu berelemen api, tapi tembus ketika kali kedua robot lawan melempar batu berelemen es.

Untungnya, Fiore cepat menembak robot dengan panahnya, memukul mundur robot tersebut. Kalau tidak, Ann yang kewalahan mungkin akan terpental atau terluka.

"Ah! Maafkan aku, Ann!"

"Tidak masalah!"

Ann kembali maju, kini dengan serangan tombak yang memutar dibandingkan menusuk. Mereka berhasil mengurangi frekuensi robot tersebut untuk menyerang balik, dan pembukaan itu dimanfaatkan Fiore untuk memanah engsel kanan atas. Panah itu melesat cepat membelah angin, melayangkan elemen api yang dipadukan Fiore dan memutus engsel, membuat robot goyah beberapa saat.

Ann memutar badan tombak, mendorong mundur robot sekali lagi, dan Fiore menghabisi dengan serangan panah berikutnya. Besi-besi itu akhirnya roboh ke lantai dengan suara derik yang cukup keras, menjadi onggokan tak berguna.

Fiore menghela nafas panjang dan menurunkan dawai panah. Ann menuju ke arah rongsokan itu untuk memeriksa.

"Ann, kamu terluka. Biar kutangani." Lucia muncul di belakang Ann, menangkap lengan kirinya yang tergesek es barusan, baret kecil yang menembus seragam.

"Kamu bisa sihir penyembuh?" tanya Fiore.

"Sedikit." jawaban yang kurang lebih sama. "Ah tapi kalau kamu ingin diobati nanti oleh orang yang lebih ahli, tidak apa-apa."

Ann menelengkan kepala menanggapi interjeksi itu, ia sekonyong-konyong menyodorkan lengan. "Kamu saja, Florence."

Fiore memperhatikan saat Lucia mulai berkonsentrasi. Sinar hangat berpendar biru kehijauan muncul dari telapak tangan Lucia, berkumpul ke garis luka yang dituju. Ann menahan lengannya naik, menunggu sinar tersebut pudar. Luka itu sempurna tertutup, tidak ada lagi darah maupun sisa guratan apa-apa.

Si pirang berdengung, "Lumayan."

"Memang kamu bisa sihir penyembuh, Pendek?"

Fiore menggeleng, "Maaf, aku lebih jago merusak."

"Ah. Sesuai dengan sikapmu." Ann berkomentar dan melengos pergi, mengabaikan Fiore yang segera menyalak.

"Sudah, sudah, Fiore, Ann. Ayo kita lanjut?"

Dan kini, mereka sudah ada di depan elevator yang hanya punya satu tombol panah ke bawah untuk ditekan.

"Kira-kira, apa yang akan menunggu kita di bawah?" Fiore mendadak bertanya ketika mereka sudah masuk ke dalam elevator.

"Mengingat apa yang kita sudah lalui mungkin ... soal pamungkas?" celetuk Lucia. Ann sekedar mendengarkan mereka berspekulasi, hanya menatap ke arah sepatunya.

Soal pamungkas, ada benarnya juga berpikir demikian. Tidak mungkin mereka akan dengan mudah keluar dari sana walau telah melewati tiga musuh dengan tiga masalah tertentu. Atau, mungkin akan ada evaluasi yang dibeberkan oleh calon guru mereka, instruktur Kelas Sembilan yang sedari tadi pastinya memperhatikan gerak-gerik mereka. Tak ada jeda berarti yang akan memberinya santai.

Poison TravelerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang