XLVI. | Makan Malam Bersama

24 9 2
                                    

Meja mereka memang minim personil, tapi Ann merasa meja mereka paling ribut di antara meja makan milik kelas lain.

Muriel dan Alicia membawakan makanan dan minuman memenuhi meja, sementara pembicaraan seputar Hana dan apa yang terjadi setelah mereka diselamatkan dari pertarungan tidak seimbang oleh pihak aneh mulai bergulir. Ann bukan tipe yang banyak bicara, jadi ia lebih banyak memerhatikan yang lain bertukar pikiran sambil menikmati porsi makanannya sendiri.

"Mereka itu siapa, sih?" tanya Eris. "Yang kuingat mereka tidak memiliki nama asli, hanya Rook dan Messenger berbaju serba putih, dan mereka menyebut diri sebagai E8."

"Atau mereka mengincar artefak?" Blair mengimbuh, ia sibuk memilah sayur dari salad yang diambilnya.

"Seingat saya, mereka tidak mencari artefak," jawab Lucia. Ia duduk di samping Hana. "Kita semua seperti sedang tidak beruntung, mendapat kesempatan bertarung dengan sekelompok ahli."

"Ah, ya, kalau tidak ada kamu, Lucia, kurasa kita semua sudah mati, haha ..." tawa Gloria kering. "Dan untung saja tim penolong datang cukup cepat, atau kalau tidak Hana bisa ..."

"Gloria, Hana tidak mati!" pekik Hana dari seberang meja, merajuk. Sebagian kelas tertawa.

"Apa ada kemungkinan mereka akan datang lagi? Hmm, tapi sepertinya kemungkinan itu kecil," tukas Val. "Bila mereka mengincar kita, mereka pasti akan datang ke Folia. Mereka sepertinya tidak berasal dari Angia."

Ann terpaku pada kata-kata 'mengincar'. Saat ia bertarung melawan Messenger saat itu, Messenger bilang kalau mereka sekadar menjadi seorang pengamat. Lagi, ia tidak ingin angkat bicara mengenai hal itu di sini.

"Kamu serius tidak ingin terus terang?"

Mendadak, sekelilingnya sunyi. 'Nina' mendatanginya, berdiri di tepi meja makan dengan senyum lengking. Gadis kecil itu sepertinya tidak bisa dilihat siapa pun terkecuali dirinya. Ann menurunkan sendoknya, tertegun. Senyum 'Nina' semakin melebar, ia tampak puas dengan keputusan Ann.

"Kamu tidak ingin membahayakan teman-temanmu atas dirimu sendiri, hm?" Nina berucap. "Kamu juga belum tahu apa yang orang-orang berjubah putih itu katakan benar atau tidak."

'Nina' mendatangi kursinya, ia menunduk untuk berbisik di telinga Ann.

"Masih ada waktu sebelum kamu membahayakan orang lain, sih. Jadi silakan saja kamu terus berusaha tidak peduli."

Ann mengerutkan dahi. 'Nina' berbeda dari biasanya. Gadis kecil itu tidak pernah memperingatkannya, atau berkata-kata selayaknya ia akan tahu apa yang hendak terjadi.

Ia, membahayakan yang lain? Seorang dirinya yang biasa-biasa saja ini, bisa membahayakan yang lain dengan intensitas sama dengan saat mereka melawan dua orang anggota E8 itu? Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Siapa sebenarnya dirinya?

"... Ann Knightley, ada apa?"

Val berbisik ke arahnya, mengaburkan segala imaji. 'Nina' tidak lagi ada di sana mengganggunya, suasana ruang makan yang ramai itu telah kembali. Ann menelan ludah.

"Ah, tidak, tidak apa-apa. Sampai mana kita tadi?"

"Bisa ya, kamu bengong di obrolan begini." cibir Fiore di sisi kirinya. Fiore menunjuk ke arah Lucia yang tengah menjelaskan soal keluarga Leanan. "Kita sedang berbicara soal keluarga Leanan."

Ann mengangguk-angguk tanda memerhatikan. Keluarga Leanan, sesuai apa yang Messenger ucap pada mereka, telah dibantai dengan alasan yang sampai saat ini Lucia tidak ketahui. Ia bisa kabur karena jalur bawah tanah yang menuju ke arah hutan berkabut, dan ia menjadi satu-satunya pewaris ilmu pedang Leanan yang dianggap sudah punah.

Ilmu pedang di Angia secara historis ada dua, ilmu pedang Malvin dan ilmu pedang Leanan. Ilmu pedang Malvin dianggap lebih terbuka karena adaptasi mereka terhadap perubahan zaman, sementara ilmu pedang Leanan disebut-sebut sebagai ilmu yang lebih khusus. Ann tidak tahu latihan apa saja yang dilalui Lucia sampai ia bisa menebas secepat kilat, yang pastinya apa yang dijelaskan Eris soal Lucia (yang Lucia terus-menerus menambahkan 'tidak sehebat itu kok' atau 'tidak sebagus itu kok') bukanlah sebuah hal hiperbola.

"Wah, Luce hebat sekali! Hana sangat kagum!" Hana bertepuk tangan.

"Saya tidak sehebat itu, saya cuma ..." ia menarik pandangan malu-malu, hanya untuk bertemu antusiasme Eris.

"Dia benar-benar jago, lho, Hana. Mungkin kamu ingin sparring dengannya nanti kalau sudah pulih."

"Oh! Ohh! Ceritakan pada Hana seberapa keren Luce, Eris!"

Pembicaraan mereka mengalir ringan setelah itu hingga seluruh makanan untuk mereka tandas. Sementara, Ann masih larut dengan peringatan 'Nina' dan menyisakan makanannya separuh tidak habis.

"Ann?" Fiore kembali memanggilnya. "Ada apa sih?"

Ann hanya menggeleng, ia menatap teman-teman sekelasnya seraya bertopang dagu.

Bila memang ia berbahaya, untuk apa ia ada di sana? Bila ia hanya membahayakan yang lain, mengapa ia dibiarkan ada di sana?

Ann bangkit dari duduknya, bilang kalau ia ingin ke kamar duluan. Fiore memandangnya dengan sangsi, begitu juga ketua kelas, tapi Ann segera menarik diri sebelum mereka (atau siapa pun) sempat menghentikannya.

Ah, andai saja kakaknya ada di sini, mungkin ia sudah bertanya panjang lebar tentang asal-usulnya.

Ann sudah mengirim surat ke kakaknya, tapi ia belum mendapat jawaban. Mungkin kakaknya itu sibuk seperti biasa, atau mungkin lebih sibuk lagi karena ada sebuah acara di barak Caelia. Jarak mereka terlalu jauh untuk menggunakan sistem komunikasi Cincin Peri, jadi yang Ann bisa lakukan adalah bersabar.

"Jadi, kamu memutuskan untuk kabur?"

Ann merasa 'Nina' berkata padanya, di dalam kepalanya.

Mungkin, mungkin ia terlalu lelah menanggapi semua ini dan 'Nina' hendak membuatnya merasa makin kacau. Mereka saja tidak tahu siapa sebenarnya E8 dan tujuan mereka saat itu hampir membunuh separuh dari mereka dengan mudahnya.

'Kami hanya menjalankan titah Ratu, yaitu menjadi pengamat.'

Atau jangan-jangan, ada salah satu diantara mereka yang mengarahkan mereka pada Rook dan Messenger, untuk membuat sesuatu hal terjadi?

Ah, tidak mungkin, 'kan? Memang, mereka bukan sebatas anak-anak berumur enam belas tahun dengan kehidupan dan masa lalu biasa-biasa saja, tapi-

"Sial," umpatnya. "Aku tidak meminta hidup yang rumit."

Apa ia sudah salah memilih untuk bersekolah jauh dari zona nyamannya di Caelia?

Poison TravelerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang