Intermission 020: Duri Merambat Logam

38 11 0
                                    

Berpedang adalah seni untuk membunuh orang, Hildegard menyimpulkan itu setelah ia mengamati Eris menyempurnakan tekniknya sebelum ia dianugerahi peringkat sebagai praktisi pedang tingkat menengah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Berpedang adalah seni untuk membunuh orang, Hildegard menyimpulkan itu setelah ia mengamati Eris menyempurnakan tekniknya sebelum ia dianugerahi peringkat sebagai praktisi pedang tingkat menengah.

Berbeda dengan ilmu pedangnya yang diturunkan secara khusus, ilmu pedang yang dikuasai Eris, Norma, adalah sebuah kiblat yang menjadi dasar berpedang hampir setengah petarung di Angia. Sejak ia menetap di sekitar kastil, sudah sering Hilde berbondong-bondong melihat orang-orang baru datang untuk berguru dan dengan cepat pergi setelah menguasai dasar ilmu pedang.

Kalau kata Guru Besar ilmu pedang Malvin - ibu Eris - 'ilmu adalah sesuatu untuk dibagi, tapi mereka yang tidak menuntaskannya hanya akan ada sebagai pecundang'. Ya, ibu Eris menganggap mereka yang nantinya menggunakan ilmu dasar itu untuk hal-hal yang tidak dibenarkan, sama saja bukan seorang praktisi. Akan tetapi, sekolah ilmu pedang Malvin tidak pernah tertutup, mereka membagikan ilmu mereka kepada siapa saja.

Walau demikian, hingga saat ini, praktisi tingkat menengah hanya ada satu. Adik kembar Eris yang bersekolah di Akademi Maritim Nix bahkan tidak bisa sampai di level sang kakak. Praktisi tingkat menengah dapat membuat sendiri pedang mereka, tapi Eris memilih untuk memakai pedang yang didapat dari sang guru saat ia berhasil menjadi tingkat menengah.

Akan lebih mudah bila Eris masuk di Akademi Nix dan mengasah pedangnya hingga level lanjut, tapi ia memilih berpisah sekolah dengan adik kembarnya.

Kini, Eris dan Hilde merupakan bagian dari Kelas Sembilan. Belum setengah tahun tapi rasanya Eris sudah banyak berubah, begitu juga dirinya.

Malam itu, ada anggota baru di sesi latihan pedang: Lucia Florence Leanan.

Lucia telah menyembunyikan identitasnya sebagai anggota keluarga Leanan saat Ekskursi Daerah pertama. Sebuah kebohongan yang diperlukan, menurut Hilde.

Bila mengingat lagi mansion Leanan yang merupakan saksi bisu pembantaian keluarga bangsawan Leanan, Hilde sedikit banyak merasa iba.

Sudah dipastikan juga seberapa mengerikan Lucia memegang pedang walau Hilde belum pernah melihatnya melawan orang secara langsung.

Hilde masih melarang Eris untuk memegang pedang karena ia masih dalam tahap penyembuhan, Eris dan Hilde duduk di sisi agak jauh ruangan sementara Alicia yang berlatih dengan Lucia. Eris tidak berkomentar, ia sungguh-sungguh berkonsentrasi, menyerap segala gerakan dari awal hingga akhir set.

Sabetan pedang dari Lucia sama sekali tidak terlihat, atau terdengar, sementara Alicia tampak kewalahan mencoba untuk bertahan. Cara Lucia menarik pedang sangat teratur. Tegak lurus dari sarung pedang, tidak menjeda hingga mata pedang seluruhnya keluar. Pedang itu terlihat sangat tipis tapi tidak satupun serangan Lucia yang menggambarkan senjata itu sebagai mudah hancur atau tumpul. Mungkin bila Alicia tidak memegang pedangnya kuat-kuat, suara ketika pedang itu berdesing menemui pedang lain, atau ketika pedang itu tengah menembus kulit tidak akan terdengar.

"Lucia, ini serius yang paling pelan? Rasanya tanganku mulai gemetar." pungkas Alicia yang menggenggam pedangnya menanggapi serangan-serangan Lucia.

"Eh? Terlalu cepat kah? Maafkan saya." Lucia berhenti, menurunkan pedangnya. Wajah penuh konsentrasinya buyar menjadi senyum lembut.

Memang, seseorang yang mahir ketika menjadi satu dengan senjatanya menjadi sangat berbeda.

Dan untuk pertama kalinya, Hilde sejenak penasaran. Ilmu pedang Leanan sangatlah kejam, ilmu pedang Norma tidak ada bedanya, walau lebih banyak dikombinasikan dengan penggunaan sihir.

"Florence." panggilnya. "Boleh kugantikan posisi Alicia?"

Eris bereaksi, "Eh? Ada apa, Hilde?"

"Tidak apa-apa, Tuan Putri."

Eris sepertinya tahu diri untuk tidak berkomentar lain atau berusaha turut ikut berpedang, ia kembali duduk. Hilde menarik pedangnya dan berhadapan dengan Lucia, yang tampak menunggu dengan kuda-kuda yang sangat natural.

Hilde ingat saat Lucia disebut oleh sang guru mereka sebagai seorang inkompeten sihir. Sang guru ternyata benar - dan itu terbukti dengan sendirinya. Sebagai seorang murid yang belajar sihir, Hilde tahu bahwa ada orang yang memiliki potensi sihir, ada yang potensi sihirnya lemah tapi bisa diasah, dan ada yang tidak sama sekali berpotensi, bagaimanapun dirinya berusaha. Kini telah terlihat jelas kalau Lucia adalah kategori yang terakhir.

Hilde mencoba memulai gerakan tipu ke arah kanan, melihat tangan dominan Lucia adalah kiri. Balasan dari Lucia sangat cepat, ia hampir melucuti pedang dari genggaman Hilde dalam hitungan detik, tapi ia menahan diri.

"Dual wielder?" bisik Hilde dalam napasnya.

"Tiga." ucap Eris di belakangnya. Lucia terperanjat, ia menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat alih-alih menyanggah. Hilde tahu Eris tidak pernah berbohong atau melebih-lebihkan. "Dia bisa memakai tiga bilah pedang sekaligus, Hilde."

"Begitu."

Lucia menyembunyikan sosoknya sebagai petarung yang mematikan, seperti ia sudah terlahir dan dibesarkan menjadi mesin pembunuh dengan perangainya yang sempurna menipu; inilah kesimpulan Hilde di beberapa sabetan selanjutnya.

Ilmu pedang warisan Kota Suci mengandalkan kecepatan dan penggunaan sihir. Akan tetapi, saat Hilde mencoba mengayun dan menusuk, Lucia dengan cepat merubah mode serangan menjadi pertahanan.

Wajar saja Eris sangat terpukau dengan ilmu miliknya. Ilmu yang jauh melampaui apa yang telah mereka ketahui untuk saat ini. Wajar saja Eris ingin menyerap ilmu itu dan mencoba memiliki versinya sendiri.

Di hadapan Hilde, Lucia seperti sebuah pantulan muka air di danau Kota Suci; ia tenang dan ia menerima segalanya.

Setelah satu set, Hilde menurunkan pedangnya, ia memberikan hormat dalam bentuk sebuah tundukan, dan mengistirahatkan senjatanya. Di belakangnya, Eris tengah bertepuk tangan, lagi sesuatu di dalam hatinya berdenyut tidak nyaman.

Lucia, dia-

"Hee. Jadi, kamu cemburu, ya, Hilde?"

Alicia nyengir lebar ketika ia melempar handuk ke arah Hilde, mengabaikan Lucia dan Eris yang bercengkrama di pojok ruangan. Hilde menyikut pinggang Alicia, membiarkannya tergelak puas di sana sementara dia pergi meninggalkan ruangan, membiarkan imaji gerakan-gerakan tarung Eris dan Lucia melebur di dalam benaknya menjadi sebuah ambisi.

Poison TravelerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang