Intermission 017: Kelam Baja

28 9 0
                                    

Penyesalan, mungkin itu adalah emosi terbesar yang menguasainya saat ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Penyesalan, mungkin itu adalah emosi terbesar yang menguasainya saat ini.

Mungkin ada juga emosi-emosi lain, tapi ia tidak bisa memilahnya selain perasaan sesak yang luar biasa.

Ini semua adalah salahnya. / Ini semua tidak pantas terjadi. / Apabila ia lebih kuat, Hana tidak perlu sampai terluka.

Kalimat-kalimat itu terus-menerus berputar, tidak pernah sekalipun diam. Kepalanya terasa penuh berjejal. Langkahnya yang semula ringan menjadi berat. Nafasnya tercekat. Rasanya seperti tengah berjalan di sebuah lorong sempit hampa udara. Memorinya selalu mengingat saat teman sekelasnya tumbang akibat serangan lawan, bercampur dengan kenangan saat ayahnya menyuruhnya pergi melalui jalan rahasia ketika keluarga mereka diserang oleh 'sesuatu yang tak tampak'.

Festival Kota Redcrosse begitu gemerlap nun jauh disana, ketika Lucia memilih untuk berhenti di tepi sungai yang bermuara ke laut, bertolak belakang dari jalan menuju kota. Garis pantai terlihat dari segala sisi di pelataran kota, seperti sabuk yang memeluk daratan. Kota itu begitu indah dilihat dari jauh maupun dekat, berbeda dengan Leanan yang berundak-undak.

Lucia menghela nafas sesaat ia menginderai laut, memandang jauh yang tak terbatas. Di sisi kiri kota, terlihat jelas Rumah Sakit Tanjung Redcrosse tempat Hana dirawat.

Tidak ada siapapun yang boleh mengunjungi Hana sampai batas waktu yang ditentukan, Lucia menurut. Kemungkinan besar Hana akan kembali ke sekolah nanti, tidak bersama mereka dengan kereta Dresden, itu yang Lucia tangkap dari penjelasan Instruktur Bathory mengenai keadaan Hana.

Lucia menatap tongkat yang ada di tangan kirinya, sejenak ia mengulum bibir.

Tidak, semua sudah tahu kalau tongkat ini bukan sekedar tongkat sekarang.

Lucia Florence Leanan, nama yang sangat asing baginya ketika dilafalkan. Sebuah rahasia yang disimpannya rapat-rapat, terlebih lagi saat Ekskursi Pertama mereka ke Leanan.

Tidak Lucia duga ia akan kembali ke rumah yang sudah lama ditinggalkannya semenjak keluarganya dihabisi. Penduduk di pusat kota Leanan memang tidak ada yang pernah tahu kisah sebenarnya mengenai tragedi mengenaskan itu, Lucia merasa seperti ada bayangan yang mengikutinya sepanjang Kelas Sembilan ada di sana.

Masa lalu yang sudah ia kubur dalam kotak kini terpaksa harus digali dan dibuka, Lucia kini harus memegang kembali pedangnya.

Lucia mengambil pedang dalam satu tarikan. Memori ototnya tidak pernah hilang, walau ia sudah mengurangi waktu latihannya setelah Fiore menawarkannya untuk mengajarkan sihir. Ia masih menarik pedang dalam setengah detik, tanpa suara gesekan antara sarung pedang dan bilahnya, dan pedang itu tampak menuntunnya untuk mencari musuh.

"... Siapa di sana?"

Lucia bersuara lantang ke arah pepohonan di belakangnya. Ia mendengar suara langkah lembut dari sepatu menginjak tanah rumput. Sepertinya sepatu yang sama dengan yang Lucia kenakan, sepatu milik sekolah Dresden.

Poison TravelerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang