XVIII. | Hutan Berkabut

37 14 0
                                    

Ada satu benda melayang yang Ann baru sadari lagi setelah melihat benda itu terbang di sekitar gurunya seperti drone berawak.

Sebuah buku dengan inti yang menyala, mengelilingi sang guru seakan-akan buku itu seperti memiliki nyawa dan kesadaran sendiri, tidak sekalipun dipegang oleh sang guru atau ia membukanya dengan mantra tertentu. Buku itu melayang, berkeliling, sesekali terbuka ketika Instruktur Bathory sekedar melirik. Buku ajaib tersebut seperti menerangi jalan sesaat Instruktur memimpin jalan masuk menuju hutan di pagi yang dingin.

Seperti apa yang dikatakan orang-orang kota, kabut semakin menebal di tiap langkah mereka menuju ke jantung hutan, menyusuri jalan setapak dengan hati-hati. Mereka membentuk satu barisan lurus ke depan dengan Instruktur sebagai kepala barisan. Para siswi harus terus berjalan tanpa henti sambil memperhatikan punggung teman mereka masing-masing. Bila salah satu orang tidak lagi melihat punggung atau buku terbang Instruktur, mereka diharuskan berteriak sebagai tanda.

“Berhenti.”

Instruktur Bathory menyahut lantang ketika mereka sampai di sebuah tanah terbuka. Pohon-pohon yang meranggas sempurna membuat suasana semakin mencekam. Mereka seperti tengah dibayang-bayangi oleh kabut. Jarak pandang mereka pendek. Mereka harus teliti mendengar sedikit saja suara yang bisa mereka tangkap atau mereka akan tertinggal. Mereka harus berkonsentrasi atau mereka akan tersesat.

“Tetap di tempat kalian!”

Ann melihat buku itu berpendar lebih terang, membuka cepat halaman demi halaman di atas kepala mereka. Angin berpusat di tengah-tengah tanah terbuka itu, membentuk sebuah pusaran, hingga Instruktur Bathory meneriakkan sebuah mantra yang membuat buku tersebut kehilangan pendar emasnya.

Dalam satu tarikan angin, kabut menipis, tubuh hutan yang semula angker kini dapat terlihat jelas.

Di depan Ann, Fiore menyaksikan perapalan sihir itu dengan serius, sementara di belakang Ann, Gloria mencengkram buntut seragamnya, ia bergetar menyembunyikan rasa takut.

Buku itu berpendar sekali lagi, kini keperakan, halaman-halaman itu terbuka lebih pelan seiring Instruktur Bathory tampak memusatkan energi sihirnya di tanah sekitar hutan.

“Itu, sebenarnya buku apa, sih?” bisik Ann.

“Kamu benar-benar tidak tahu sihir, ya?” hardik Fiore. “Itu Kitab Kejayaan Hampa, salah satu dari empat kitab Endia.”

Empat kitab? Kejayaan Hampa? Tapi Fiore sepertinya sudah menebak dari raut wajahnya kalau dia sama sekali tidak paham.

“Intinya, Kitab itu bukan sembarang katalis sihir seperti busur panahku atau tongkatnya Lucia, atau astrolabe-nya Karen,” jelasnya. “Tulisan-tulisan di buku itu hanya bisa dilihat oleh pemegangnya.”

“Apa itu sama dengan e-book yang bisa ditulis-tulis sendiri?”

Fiore mendecak keras. “Kenapa ya aku selalu lupa kalau aku tidak bisa berkomunikasi dengan manusia sepertimu?”

“Entahlah, Pendek. Mungkin takdir.”

“... Kalian, bisa diam tidak sih.” Val mengingatkan dari ujung paling belakang.

Setelah buku itu berhenti berpendar, hembusan kuat muncul sekali lagi. Mereka sampai perlu melindungi wajah dari terpaan angin. Sekarang, kabut sudah menipis sempurna walau belum hilang. Tanah lapang itu terlihat jelas sekarang, juga jalan berbatu yang berpagar. 

Sebuah plang yang terbuat dari batu telah berlumut di ujung jalan: Mansion Leanan. Di kaki batu berlumut itu terdapat anyelir putih dalam berbagai klaster: buket besar lingkaran, maupun tangkai-tangkai sederhana. Bunga-bunga itu tampak segar, seperti baru saja ditinggalkan di depan sana. Pagar tinggi bercat hitam masih tampak gagah melingkari area utama hutan, sulur-sulur tanaman merambat liar di beberapa bagian. Ada juga bagian pagar yang sudah bengkok lebar akibat dijebol paksa oleh seseorang, atau mungkin hewan.

Ann tidak mendengar kicauan burung sama sekali hingga kabut itu ‘diangkat’ oleh Instruktur Bathory.

“Leyline di sini sangat kacau,” Instruktur Bathory berucap. “Kalian tidak boleh mendekati pagar sampai pemindaian selesai.”

“Instruktur, boleh kami mengumpulkan sampel air dari sungai kecil di sebelah sana?” Hilde mengangkat tangannya.

“Ya, tapi jangan pergi terlalu jauh.”

Para siswi membubarkan barisan mereka dan berkumpul di tanah terbuka, menanti instruksi selanjutnya sambil mengedarkan pandang ke sekeliling. Senjata siap di depan muka. Tidak ada binatang besar di dekat mereka, juga tidak ada pemburu berkeliaran di pagi-pagi buta itu. 

Hutan itu seperti menelan segala yang masuk dan membungkus mereka dalam gelap kabut.

“Instruktur, kami kembali.” Alicia berseru dengan sebuah botol sampel air di tangannya. “Apa Instruktur saja yang memindai air ini?”

“Biar Hildegard saja.” perintah sang guru. 

Blair menunduk untuk melihat anyelir-anyelir putih yang terlihat baru di pelataran batu. Ia melihat warnanya, menghitung jumlah kelopaknya.

“Transmutasi, mulai.”

Bunga itu meletus di tangan Blair, menjadi bongkahan abu berbentuk bunga.

“Sihir?”

“Alkemi!” koreksi Blair menanggapi Gloria. “Bunga-bunga ini sudah ada di sini beberapa tahun lamanya.”

“Eh? Tapi kok masih terlihat segar?”

“Kurasa kita akan tahu setelah pemindaian sihir selesai.” Blair menunjuk guru mereka yang masih berkonsentrasi.

Hembusan angin sekali lagi datang dari buku sihir, tapi kabut tak juga menipis. Instruktur Bathory menutup Kitab Kejayaan Hampa dan menariknya dari pandangan. Ia memeriksa jejak yang ada di sekitar pagar yang dibengkokan.

“Ada sesuatu di dalam mansion utama, tapi pintu-pintu yang ada ditutup oleh beberapa segel sihir,” Instruktur Bathory menjelaskan. “Bisa saja kita membuka segel itu satu per satu agar tidak mengundang perhatian pemerintah kota, tapi …”

“Akan lebih baik kalau ada jalan lain?” Blair melanjutkan.

“Benar, Chevalier. Apa kamu - oh.”

Seluruh bunga di pelataran batu itu sudah disulap menjadi abu, dan sejurus kemudian, Blair melihat sebuah kuda kecil di tengah-tengah yang dapat diputar. Kuda kecil itu Blair putar searah jarum jam, tanah di sekitar mereka perlahan bergerak, dan terungkap sebuah tangga batu turun. Gloria melihat ke arah bawah dengan kagum. 

"Apa ini seperti ruang rahasia yang ada di cerita-cerita bangsawan?" tanya Val.

"Yah, kita hanya perlu turun untuk tahu," Blair melirik ke arah guru mereka. "Instruktur?"

"Kemungkinan itu memang jalan menuju ke mansion." imbuh Instruktur Bathory. "Nyalakan lentera kalian, kita akan segera menuju bawah tanah."

"Yes ma'am."



Selepas seluruh siswi Kelas Sembilan turun, dua orang muncul dari kamuflase mereka dengan pohon. Masing-masing mereka mengenakan jubah bertundung berwarna putih dengan aksen hitam. Mereka memeriksa tangga turun itu dengan seksama sebelum mereka mundur kembali ke bayang-bayang pepohonan. 

"Mereka sudah masuk," tukas orang di kanan. "Apa kita harus mengikuti mereka?"

"Tidak, tugas kita hanya menonton, Rook." pungkas si kiri. "Jangan berlaku gegabah, kita tidak boleh terendus sihir Leanan juga, bisa-bisa kita tertangkap oleh pemerintah kota Barrows."

"Benar juga, Messenger." Rook mengangguk setuju, ia menurunkan tundung untuk menutupi topeng putihnya. "Jadi, kita menonton dari mana?"

Messenger menengadah, memperhatikan hutan yang kini sempurna hening. "Ingat chamber yang kita tinggalkan tadi? Anak-anak itu tidak mungkin akan ke sana."

"Bukannya kita juga perlu memperhatikan Penyihir Masyhur? Bisa-bisa kita akan dihabisi."

"Tenang saja, Rook. Percayalah padaku."

Mereka pun membelah hutan dari dua sisi, menuju mansion utama Leanan tanpa diketahui burung-burung yang berkicau di dahan tertinggi. [ ]

Poison TravelerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang