LX. | Uskup Agung

21 7 3
                                    

Kalau Ann merasa Stasiun Kota Suci sudah serba marbel dan putih menyilaukan, kastil katedral ini sempurna mengalahkannya. Lantai marmer itu bahkan seperti mengilat karena dibersihkan setiap saat. Pojok-pojok jendela dan ruangan yang seperti tidak berani debu melekat. Lekuk-lekuk patung yang ada dan relief-relief yang terpajang di sana bahkan terlihat bersih bersinar, alih-alih tidak ada orang yang datang dan pergi setiap harinya.

Kedatangan mereka disambut sepi, karena menurut Hilde, jam pagi itu adalah jam untuk berdoa. Mereka hanya bisa menunggu, tidak boleh mengganggu atau sekedar bertanya pada biarawan dan biarawati yang berlalu-lalang di lorong utama. Hilde yakin mereka tahu kalau kelompok dari Dresden akan datang, namun akan ada saatnya mereka dipersilakan untuk menemui sang Uskup. Instruktur Bathory juga mewanti-wanti kalau mereka banyak diam dan kalau mau mengobrol, jangan berbicara keras-keras.

"Aku berani bilang kalau Paman Mathias pasti ceramah panjang lebar, beliau sangat suka suaranya sendiri, sih."

"Putri, anda nanti akan menjadi seorang ratu, lho?" Hilde menginjak kakinya dengan sengaja, Eris mengaduh.

"Siapa nama Uskup tadi?"

"Mathias." Fiore menyenggol lengan Ann.

"Oh, oke, Mathias. Mathias Norma?"

Hilde yang menjawab Ann. "Ya. Beliau pamanku dari keluarga cabang Norma."

Mathias Norma, nama itu tertera dimana-mana ketika mereka memasuki area utama kastil katedral Norma. Pigura keemasan yang ada di sebelah mereka, misalnya, terpampang wajah sang Uskup, pria yang tampak wibawa dengan rambut yang mulai menunjukkan tanda penuaan dari hitam legamnya. Hilde kalau tidak salah bilang beliau berumur hampir lima puluh tahun. Sedikit keriput meliputi pucuk-pucuk matanya, namun senyum yang menampilkan lesung pipinya itu seakan menunjukkan bahwa jiwanya muda. Uskup Agung tampak memiliki segudang prestasi yang ditampilkan di dinding itu, berupa medali penghargaan dan lain-lain. Ada juga foto beliau memegang trofi dengan seseorang yang dituliskan berasal dari Bluebeard.

Di kastil katedral itu, mereka disuruh menunggu di sebuah serambi depan dalam waktu yang cukup lama, hingga seorang diakon muda bertubuh tinggi datang menyambut mereka. Ia melepas topi tingginya, menampilkan rambut pirang yang diikat. Diakon itu memakai kacamata berlensa bulat, menyembunyikan mata kecilnya yang berwarna merah. Pria itu tampak tergesa-gesa, seakan takut sekali diomeli, padahal sebagai tamu, mereka tidak punya pilihan lain selain menunggu.

"Diakon Yuri," ucap Hilde yang pertama membungkuk tanda hormat. "Selamat pagi."

"Ah, Misionaris! Maafkan saya, doa pagi agak larut karena Uskup tengah memberikan ceramah penting." ia menghaturkan maaf berulang-ulang, sebelum mengulanginya lagi ke arah Instruktur Bathory. Eris nyengir mendengar itu, Hilde kembali menginjak kakinya. "Maafkan saya sudah lancang, Wakil Para Peri."

"Wakil Para Peri ...?" semua mata segera menoleh ke arah sang guru.

"Itu, ah, nama khusus yang mereka gunakan untuk pemegang Kitab," Instruktur Bathory menggaruk pipinya. Jarang sekali melihat guru mereka tersipu. "Erm, Diakon Yuri? Bisa anda memanggil saya dengan nama saya saja?"

"Tidak bisa begitu, Wakil Peri! Anda memegang gelar kehormatan yang tinggi, tinggi sekali hampir setara dengan Uskup!"

"Sa-Saya bukannya ingin menyaingi Uskup ..."

Instruktur menggelengkan kepala. Sang Diakon juga termasuk satu di antara banyak yang antusias dengan keberadaan Instruktur Bathory, sepertinya. Sampai-sampai sang Instruktur seperti ingin mendorong mundur wajah Diakon.

"Jarang-jarang ya," ucap Val. "Aku selalu merasa Instruktur itu tua dan bijak, tapi kini aku bisa melihat beliau ... lucu saja, gitu."

"Seingatku, beliau belum ada 30?" dan setelah Alicia berkata demikian, mereka mulai bisik-bisik bergosip.

Poison TravelerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang