XLV. | Kembali

24 10 2
                                    

Malam itu, Matron Thalia menghimbau untuk semua penghuni asrama berkumpul di ruang makan pada jam tujuh tepat.

Matron Thalia bisa dibilang adalah ibu asrama yang sangat sempurna, atau Ann saja yang belum pernah melihat ibu asrama lain sebelumnya karena ini pertama kalinya ia berada di asrama. Dibandingkan dengan pengurus barak di Caelia, Matron Thalia tampak bisa mengerjakan berbagai jenis pekerjaan tanpa kenal lelah, seperti mengurus kebersihan umum asrama, ketersediaan bahan makanan dan peralatan mandi, hingga keteraturan rak alat di ruang latihan.

Muriel pernah bilang sesekali kalau semua bilang dia yang bangun paling pagi untuk membuat sarapan, Matron Thalia bangun lebih pagi darinya. Bisa diperkirakan bahwa di balik perangai keibuan itu, ada monster bersemayam yang menerkam siapa saja murid yang melanggar jam malam dan tata tertib asrama.

Tenang, Ann bukan salah satunya. Untungnya. Dan sejauh ini, anak-anak Kelas Sembilan cukup patuh aturan walau mereka sangat urakan dibanding Kelas Tiga dan Kelas Enam.

Ann kembali dari mandi dan segera merebahkan diri di kasur dengan kemeja putih dan rok seragamnya, Gloria mencibir dari meja kerjanya. Entah barang apa yang diperetelinya malam ini, tapi Ann dapat melihat per, tang, dan obeng.

"Kalau kamu tidur pakai rok itu nanti lecek, lho?"

"Gloria, kamu bukan kakakku," Ann berguling ke arah dinding. "Eh, tapi kita 'kan mau berkumpul, wajar dong pakai seragam?"

"Ya jangan tiduran, dong!" Gloria tertawa. Ia bangkit dari kursi dan duduk di sisi kasur Ann, mencubit lengan teman sekamarnya itu. Ann tergelak.

"Kenapa kita disuruh berkumpul ya? Tumben." imbuh Ann, ia beringsut turut duduk. "Apa jangan-jangan ada yang mencuri makanan dan Matron mengumpulkan kita untuk mengaku?"

"Ada-ada saja pikiranmu itu," Gloria menepuk pundaknya. Ia melirik ke arah Cincin Peri miliknya, pengingat himbauan untuk berkumpul di ruang makan berkedip-kedip di layar yang terkembang. "Ayo ke bawah, sudah mau jam tujuh."

Ann mengambil blazer seragamnya yang digantung di dekat lemari baju dan bersiap. Gloria merapikan sedikit kekacauan di meja kerjanya sebelum ia membuka pintu. Ann melihat ke arah meja lagi, kekacauan itu berbentuk seperti sebuah jam saku yang warnanya sudah pudar.

"Hm? Ada apa lihat-lihat?" tanya Gloria.

"Kamu sedang membetulkan jam saku?"

"Lebih tepatnya, jam itu tidak bisa kuperbaiki. Tidak ada lagi yang membuat spare part setua itu di Spriggan dan Angia." Gloria mengedikkan bahu. Ia menunjuk Ann untuk keluar lebih dulu dan Ann menunggu Gloria mengunci pintu.

"Bukannya kamu bisa minta seseorang untuk membuat spare part, misal?"

"Chevalier!" pekiknya, menyebut nama teman sekelas mereka yang bisa membuat sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Pemilik rambut merah itu segera sumringah. "Tumben otakmu jalan, Ann!"

"Mohon maaf, tapi aku tidak sebodoh itu kecuali soal pelajaran Linguistik dan Aplikasi Sihir."

Mereka berdua bergantian tertawa seraya menuju lantai dasar dan ke ruang makan yang sudah dipenuhi para penghuni asrama.

Tampak semua sepakat membagi tempat bagi kelas mereka masing-masing, dengan Kelas Sembilan mendapat meja paling kecil dibanding gabungan meja-meja di sana karena anggota kelas mereka paling sedikit. Meja mereka berada dekat dengan konter utama ruang makan, Ann bisa melihat Muriel dan beberapa murid kelas lain sibuk menyiapkan makan malam untuk mereka semua di saat yang bersamaan.

Matron Thalia tidak tampak ada di wilayah ruang makan itu, padahal beliau yang mengumpulkan mereka semua.

Ann menarik kursi untuk duduk di samping Ketua Kelas yang mengerutkan dahi melihat Ann datang mengambil tempat duduk di sampingnya. Gloria duduk di samping Blair, tampak segera bertanya soal spare part jam saku. Fiore tengah berbicara dengan Karen tentang sesuatu yang Ann tidak bisa dengar dari tempatnya duduk. Mereka berdua tampak lebih dekat selepas sparring sengit beberapa hari silam. Sementara, Eris, Lucia, Hilde dan Alicia baru saja datang dari arah ruang latihan, menghuni sisa kursi yang ada. Semenjak Lucia memperlihatkan kemampuan berpedangnya, Eris mengundang Lucia untuk ikut dengan kelompok mereka berlatih rutin.

"Apa ... kamu sudah menyediakan kursi ini untuk orang lain?"

"Tidak kok, duduklah, Ann Knightley. Aku cuma heran melihatmu memilih duduk di sampingku."

Ann mengedarkan pandang ke antero Kelas Sembilan yang mulai bercengkerama satu sama lain dan larut dalam suasana. Ia menghitung jumlah kursi dan terdiam mendapati jumlahnya ada dua belas.

"Ketua kelas, kamu yang menyusun kursinya?"

"Iya - ah," Val mengikuti arah pandangnya dan tersadar. "Oh, maaf, aku sudah terbiasa-"

"Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Bukan salahmu, ketua kelas."

Val menaikkan kacamatanya, ia lalu menopang dagu. "Kamu berubah, ya, Ann Knightley."

"Berubah?"

"Ya, berubah. Yang kutahu kamu itu sangat cuek." ujar sang ketua kelas. "Tidak kusangka akan dihibur oleh seorang yang tidak peka sepertimu."

Ann menelengkan kepala, "Baik, kuanggap itu sebagai pujian, ketua kelas."

"Aku tidak memujimu, Ann Knightley." Val mendengus, kini ia melipat kedua tangan di atas meja.

Ketua kelas, sama sepertinya, terdiam melihat Kelas Sembilan yang berusaha untuk ceria. Masing-masing dari mereka tidak akan pernah melupakan apa yang terjadi, namun mereka tidak bisa terus-menerus bersungut-sungut. Hana juga pasti tengah berusaha keras untuk segera pulih.

"Oh iya, kamu sudah belajar sampai mana untuk Ujian Tengah Semester?"

"Tolonglah jangan merusak suasana, ketua kelas."

Pintu asrama terbuka lebar kali ini, menampilkan sosok anggun Matron Thalia memasuki ruangan. Beliau tidak sendiri, namun tidak didampingi oleh para Instruktur lain. Ia mendorong kursi roda dengan seorang familier duduk di sana, seperti tidak terluka ataupun sakit karena raut wajahnya secerah mentari. Memang, tidak dapat dipungkiri perban luka masih melekat terlihat di berbagai sisi tubuhnya dan ia tidak bisa berdiri sendiri tanpa bantuan Matron Thalia, tapi dia adalah dia.

Seketika seluruh penghuni ruang makan hening, selain dari gadis di kursi roda itu yang memekik kencang.

"Hana kembali!"

Murid-murid Kelas Sembilan tak luput berdiri dari kursi mereka, dengan Lucia yang terlebih dahulu berlari dan menyambut Hana dengan pelukan. Blair dan Alicia mengacak rambut pirang yang kusut itu sambil bersorak-sorai, membuat seisi ruang makan yang hening turut bergembira. Muriel bahkan melupakan agenda menata piringnya dan ikut menggandrungi Hana, Matron Thalia mengingatkan Muriel untuk tidak memeluk Hana terlalu erat. Gloria dan Karen menjadi yang berikutnya datang, Karen menepuk-nepuk pundak Hana sementara Gloria mencubit kedua pipi gadis itu gemas.

Hana belum bisa berdiri terlalu lama, jadi Matron Thalia bilang pada mereka yang terlalu antusias untuk duduk manis. Fiore mendengkus mendapati Hana yang mulai ribut sendiri melihatnya turut muncul di keramaian, tapi Fiore-lah yang mendorong kursi roda Hana mendekat ke arah meja. Hana kemudian menyapa Hilde dan Eris, lalu melambai ke arah Ann dan ketua kelas, sebelum lagi-lagi Lucia memeluknya sambil terisak penuh haru.

Ann merasa ... aneh. Seperti ada sebuah gelombang pasang yang menyapu keraguan dan meninggalkannya dengan relung kosong. Namun, kekosongan itu bukanlah hal yang diinderainya sebagai sebuah hal intrusif. Ia tidak mengerti apa yang tengah ia rasakan, dan sekedar duduk tenang mengamati keramaian kelasnya telah kembali dengan kelegaan di dalam dirinya.

"Bagaimana, situasi ini tidak buruk, 'kan, Ann Knightley?" Val menyenggol lengannya, berbisik.

"Ya. Ada benarnya juga."


Poison TravelerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang