Intermission 025: Singgasana

22 9 0
                                    

Malam itu, tidak biasanya hujan turun dalam kurun waktu yang lama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam itu, tidak biasanya hujan turun dalam kurun waktu yang lama.

Eris menatap ke arah jendela kamar mereka, mencoba menembus malam. Ia duduk di ambang, menyandarkan kepalanya ke kaca yang perlahan mendingin karena rintik-rintik yang semakin deras.

Hari itu, selepas pengumuman Ekskursi Daerah Ketiga, Eris memilih untuk tidak melaksanakan latihan malam. Lucia menyetujui ide tersebut tanpa banyak berkomentar, sesuatu yang Eris segani dari Lucia yang cepat tanggap. Ia menyadari Hilde tidak akan bicara dengannya tentang apa yang ada di pikirannya walau Eris sedikit mencoba memaksa, sehingga kini ia memutuskan untuk memberi mereka berdua sedikit jarak untuk masing-masing berpikir. Berpikir tentang implikasi yang ada di balik tugas ini dan juga 'sebuah misi khusus' yang hendak diberikan Uskup Agung.

Uskup Agung, Mathias Norma, adalah seorang yang tidak asing bagi Eris.

"Tuan Putri, kamu nggak tidur?"

Eris menarik kepalanya dari sandaran kaca, matanya menemukan Alicia yang duduk di kasurnya, memeriksa ban lengan di tangannya yang menyala dua puluh empat jam sebagai tanda bahwa dia diawasi penuh sebagai narapidana.

Barusan, ketua kelas datang seorang diri untuk roll call. Alena Valerian menyuarakan kekagetannya melihat mereka berdua ada di dalam kamar dan tidak di ruang latihan, sesuatu yang sangat lumrah. Kekagetan itu membuat Eris juga sedikit tersenyum sendiri, mengingat bagaimana dia seperti tidak bisa berpisah dari pedang. Memang, ia tidak terobsesi sampai meninggalkan tanggung jawabnya sebagai seorang pelajar dan latihan-latihan militer lainnya, tapi semua orang mengaitkan Eris Malvin dan pedang.

Pedang adalah identitasnya sebagai seorang Malvin, namun bukan menggambarkan dirinya sebagai seorang penerus Bluebeard.

"Biar kutebak, mikirin Hilde?"

Eris menatapnya sinis, "Bukan cuma itu."

"Tapi pastinya ada Hilde-nya, 'kan?"

"Alicia."

Andai ia duduk di kasur, ia bisa melempar Alicia dengan bantal. Eris tapi mengurungkan niatnya dan kembali melihat ke arah luar jendela. Hujan semakin deras, tapi suaranya tidak mengganggu Eris. Malah, suara hujan membuatnya mendingin, tenang, seperti ketika ia baru memegang pedang sebelum memulai latihan.

"Alicia," panggilnya. "Apa kamu tidak mau kembali ke Pulau Penjara?"

"Eh?" pekiknya. "Ada apa tiba-tiba?"

"Ban lenganmu," Alicia menunjuk lengannya. "Pasti sakit, 'kan, walau kamu mematuhi perintah untuk tidak jauh-jauh dari kami berdua."

Alicia nyengir, "Hee, jadi Tuan Putri tahu."

Eris turun dari ambang jendela, ia duduk di seberang Alicia, kakinya naik bersilang. Ia menatap ban lengan yang menyala itu sebelum mendesah pelan.

"Keputusan aneh menghukummu padahal 'kesalahan' ini milik ibumu."

Poison TravelerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang