Intermission 002: Pedang Suci dan Sang Putri

65 14 0
                                    

Berpedang, sama seperti bela diri, memiliki banyak sekali jenis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Berpedang, sama seperti bela diri, memiliki banyak sekali jenis. Namun, hanya sedikit teknik yang memiliki nama dan diajarkan secara turun-temurun atau menggunakan konsep guru yang mengangkat murid yang tepat.

Pedang merupakan senjata favorit kedua yang digunakan dalam dunia militer selain tombak. Ketika tombak memiliki satu kiblat yaitu teknik militer dasar Angia, pedang di Angia memiliki berbagai nama.

Salah satunya, yang paling dikenal di Angia, adalah ilmu pedang Malvin. Ya, Malvin yang sama melekat sebagai nama belakangnya. Sama seperti nama keluarga penguasa Bluebeard yang memegang pangkat di sana sebagai gubernur. 

Zaman saat Bluebeard masih dikenal sebagai kerajaan telah lama usai, tetapi hirarki penguasa masih berjalan sama. Ia adalah putri mahkota, karena dia yang paling tua dibandingkan adik kembarnya yang dilahirkan berbeda lima menit. Ia juga yang memegang tingkat menengah praktisi pedang Malvin terlebih dahulu dari sang adik, yang kini mungkin tengah mendiami masa emasnya di Akademi Maritim Nix di Caelia sana.

Eris membuka matanya ke ruang latihan yang kosong. Manekin kayu di depannya sudah lama roboh dengan tiga tebasan membelahnya habis, menghambur sia-sia di lantai. Sejak tadi, yang menemani sesi latihan tunggalnya adalah suara nafas teratur, dan gelap ketika ia menutup mata untuk menenangkan diri. 

Kata-kata gurunya - ibunya - terngiang di dalam benaknya: menguasai pedang bisa membuatmu gelap mata. Di saat-saat itulah, yang diperlukan seorang penguasa adalah kembali kepada alam, baru mereka bisa melihat segalanya transparan.

Aliran pedang Malvin meliputi penggunaan pedang satu mata berukuran panjang. Titik berat dari pengajaran aliran ini adalah seni dibandingkan melukai. Lagi, bukan berarti teknik yang diajarkan tidak bisa menebas dengan kuat atau bahkan membunuh. Karena ‘seni’ itulah, tidak banyak mereka yang ingin mencapai tingkat menengah atau bahkan mampu. Tingkat dasar sudah cukup bagi mereka yang mau mencoba berteman dengan pedang, dan ibunya tidak keberatan mengajarkan mereka dan melepas mereka di hari yang sama bila diperlukan, juga menumpas sendiri mereka-mereka yang lalai dari disiplin ilmu.

Eris menyarungkan pedangnya untuk malam itu, berpikir bahwa cukup latihannya untuk malam ini, ketika suara derit pintu di sebelah tenggara dari sumbu tubuhnya menarik perhatian. Kakinya kembali terbuka waspada, walau ia tahu siapa yang ada di sana.

CLANG.

Seperti biasa, sabetan memutarnya akan ditangkis oleh pedang platina berbilah tipis yang berada tegak lurus, alih-alih mengantisipasi gerakannya yang horizontal.

“Putri, ini sudah malam.” ucapnya dengan nada rendah, mata kekuningan menatap biru langit Eris dengan datar.

“Jam malam masih setengah jam lagi,” tukasnya. “Kupikir kamu bersama Alicia.”

“Bukannya anda yang menyuruh ketua kelas untuk sengaja pergi mengawasi Alicia?”

Eris menggeleng, “Meminta, Hilde, bukan menyuruh.”

Hildegard Norma menyarungkan kembali pedang miliknya. Ia menuju sisi ruangan tempat rak-rak dan kursi panjang berada, lalu kembali dengan handuk dan sebuah botol.

“Tidak perlu repot-repot, aku bisa ambil sendiri.”

Hilde sudah keburu menyodorkan handuk itu ke tangan Eris, artinya Eris tidak punya kuasa untuk menolak.

Sementara Eris menyeka wajah dan lehernya dari keringat, Hilde tampak mengedarkan pandangannya ke ruang latihan, seperti menghitung jumlah barang yang tidak ada. Sosoknya yang sejenak rapuh tampak asing di ruangan yang penuh dengan perlengkapan pertarungan, tapi pedang yang ada di sisi pinggangnya berkata lain.

Ukiran alur abstrak yang bersinar krom di pegangan pedang milik Hilde bukan sekedar dekorasi semata. Estetika dan simbolisme memang yang mendampingi pembuatan bilah khusus tersebut, tapi pedang itu merupakan simbol bagi mereka yang mengetahui.

Perlambang Kota Suci Norma ke-134 sejak daerah otonom Norma dijajah oleh pasukan militer Bluebeard, Hilde bukan saja pewaris tunggal pedang itu, tetapi juga--

“Putri? Ada apa?”

Ah, sepertinya ia tertangkap basah melihat ke arahnya terlalu lama.

Kembali ke soal pedang dan perpedangan.

Bila aliran Malvin berakar dengan seni, pedang yang diajarkan oleh Kota Suci memiliki kekhususan: teknik tusuk. Teknik itu mirip dengan lesak tombak untuk mengincar titik vital lawan, bahkan di sejarah penerapannya pernah menembus jantung. Kecepatan dan kekuatan merupakan hal utama yang dikuasai oleh Hilde, berkebalikan dengan keakuratan dan ketahanan yang dimilikinya. Teknik itu sengaja dibiarkan anonim, sebuah rahasia umum bagi Kota Suci yang juga dipelajari oleh Malvin sebagai keluarga penguasa Bluebeard. Lalu, Alicia masuk di antara mereka sebagai wakil dari ilmu pedang tak bernama, gabungan dari segala hal yang dilakukannya untuk bertahan hidup, iramanya liar dan polanya tidak pernah sama, urakan sama seperti bagaimana Alicia sebagai Alicia.

“Kamu jarang bicara kalau di kelas.” Eris mengalihkan pembicaraan.

“Apa aku harus bicara lebih banyak? Itu perintah?”

“Bukan, Hilde. Bukan itu.”

Sejak saat ia mewarisi pedang itu lima tahun yang lalu, Hilde memang menjadi orang yang berbeda, Eris pun sudah terbiasa dengan cara bicara dan bagaimana ia memposisikan dirinya. Walau demikian, ketika mereka pergi dari Bluebeard untuk bersekolah di Leanan, Hilde terasa asing. Seperti jarum di tumpukan jerami, sulit untuk menemukan Hilde yang sama.

“Lalu, kenapa kamu kesini kalau kamu tidak berlatih?” mengalihkan pembicaraan sekali lagi.

“Aku ingin bicara denganmu, Putri.”

Sayang, di antara mereka lebih banyak hening ketimbang percakapan. Eris akhirnya menyerah.

Ia melipat kembali handuk, memasukkan kembali botol minum ke dalam tas yang ia biarkan ada di ruangan itu tak terganggu. Eris selalu berlatih pedang setiap pagi dan setiap malam, tas itu akan dia ambil kalau ia hendak pergi ke sekolah. Botol air yang kosong akan selalu terisi penuh padahal ia belum sempat ke dapur untuk mengisi.

Eris menatap Hilde, yang terpaut lebih tinggi darinya kini, dengan tatapan datarnya tertuju pada Eris.

“Berhenti memanggilku Putri, kita ini teman kecil.”

“Kalaupun itu sebuah perintah, Putri, aku tidak akan melakukannya,” tukasnya. “Menjadi kewajibanku sebagai perlambang kedamaian antara Norma dan Bluebeard untuk melakukan hal demikian.”

Eris menahan desis dengan mengulum bibir, juga menahan dirinya untuk mengacak rambutnya karena gusar.

Memang, memang menurut pakta perjanjian di Y1100, hal itu adalah kebenaran. Namun, mengingat Kota Suci Norma merupakan daerah khusus Angia tempat segala keyakinan berkiblat dan melihat Hilde adalah perwakilan saat ini, yang seharusnya berlagak seperti kesatria atau pelayan bukanlah Hilde.

‘Tapi, ini bukan sekedar berlagak.’ Eris menjawab pernyataannya sendiri dengan sanggahan keras. 

"Putri?"

"Tidak apa-apa. Jam malam sebentar lagi. Ayo kita kembali."

"Baik."

Kini, hal yang bisa dikenang Eris dari masa kecilnya hanya pita rambut biru yang mengikat rambut pirangnya, dan dua pada kuncir ganda yang membingkai pucuk-pucuk rambut hitam di hadapannya itu. [ ]

Poison TravelerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang