Intermission 019: Delirium

33 9 2
                                    

Ketika kakeknya memberitahukan bahwa hidupnya adalah sebuah kesalahan, ia tahu kalau mencari teman bukanlah tujuannya sebagai seorang anak kecil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ketika kakeknya memberitahukan bahwa hidupnya adalah sebuah kesalahan, ia tahu kalau mencari teman bukanlah tujuannya sebagai seorang anak kecil. Tubuhnya yang lemah juga tidak mengizinkannya untuk pergi keluar rumah terlalu sering, hanya berkutat di wilayah kerja sang kakek dan kamarnya yang sempit.

Saat itu, sang kakek jarang sekali pulang ke rumah. Sebagai seorang anak yang diberkahi kemampuan paham, ia mengerti bahwa Spriggan sangat membutuhkan kakeknya. Lebih butuh ketimbang kedua orang dewasa yang mengaku sebagai 'orang tua' darinya yang selalu mengekor ke mana saja kakek pergi dengan urusannya.

Hari itu adalah penghujung musim panas dengan kelembapan luar biasa. Sakit yang dideritanya menusuk ke tulang. Ia sudah tidak bisa lagi duduk untuk membaca buku dan keluar kasur untuk mengambil segelas air. Ia mengatakan pada sang kakek kalau ia bisa mandiri, ia bisa ditinggal lebih lama dan sakitnya tidak separah dulu. Akan tetapi, tubuhnya tidak pernah berbohong.

Pandangannya samar, yang ia inginkan hanya tidur dan mungkin menemukan secercah kekuatan untuk bangun dan makan sup dingin yang kakek tinggalkan pagi tadi atau paling tidak terjaga cukup untuk melakukan hal lain. Tidak, ia tidak bisa melakukan apa-apa hari ini.

Kala itu, ia mendengar sayup-sayup suara langkah di teras rumah kayu milik sang kakek. Ada suara-suara aneh yang tak bisa ia deskripsikan mengikuti, sebelum pintu utama terbuka. Saat itu, kakek sengaja membuatnya tidur di sofa ruang depan agar sang kakek bisa mengurusnya lebih cepat ketika sampai di rumah.

Itu pertama kalinya ia melihat mata merah yang sama namun dalam sosok yang lebih kecil, lebih muda. Seorang gadis datang entah dari mana ke rumahnya, alih-alih mengendap untuk mencuri. Pandangannya yang tidak fokus kurang menangkap apa yang terjadi di sekelilingnya, namun ia tahu gadis itu duduk di lantai tepat di samping sofa tempatnya terkulai, wajahnya mendekat.

"Kamu butuh minum?"

Ia mengangguk. Gadis itu mengambil gelas yang ada di dekatnya, diisinya setengah penuh dengan air. Gadis asing itu membantunya minum.

Ia lalu akhirnya bisa lebih tenang memejamkan mata, berharap saat ia membuka mata, akan ada kakeknya di sana dan angan kalau ada pencuri di rumah adalah sebuah mimpi.

Kelahirannya adalah sebuah kesalahan. Segala konvergensi sihir di dalam tubuhnya mungkin adalah salah satu ganjarannya.

Ia pernah mendengar kakek berbicara soal itu entah dengan siapa saat tengah berkumpul di teras depan. Ia merasa tidak patut hadir. Ia merasa hanya ada sebagai beban.

Ia tak sepantasnya memiliki teman.

Tapi ketika ia membuka mata, malam sudah menjelang dan kakek belum juga kembali. Hanya ada gadis itu, masih duduk di lantai dengan bersila. Senyumnya runcing menanggapi buku-buku yang berserak di sekitarnya, ia tampak telah selesai membaca salah satu.

"Pencuri?" bisiknya. Gadis itu tertawa.

"Kakekmu tadi datang, dia bilang akan kembali agak malam dan membawa obat, tapi aku dibiarkannya di sini menjagamu." balasnya ringan.

Poison TravelerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang