LXXVII. | Garis Depan, bagian ketiga

19 7 3
                                    

"Tujuan kita ada di bawah sini?" Alicia mengulang lagi.

Seraya menanti perkembangan status Unit Charlie dan Unit Delta, mereka terus memantau apa yang terjadi di bawah sana dari balik selusur asap. Baik pasukan penyerang dan pertahanan tidak menyerah walaupun ladang ranjau terus meletup-letup di antara mereka.

Pertarungan itu adalah layaknya adu ketahanan antara pasukan pertahanan yang tahu lokasi ranjau dan pasukan penyerang yang dengan gigih mencoba menghindari ranjau dan juga serangan dari lawan. Hanya ada suara pedang bertemu pedang, terkadang letupan senjata api yang dilepaskan, tapi tidak ada yang berani menggunakan sihir tertentu seperti angin untuk menghilangkan asap atau sihir api sebagai sebuah pertanda darurat. Kedua belah pihak masing-masing tidak bersuara banyak, berusaha mengecoh satu sama lain dengan berpura-pura mati dan kemudian menggunakan asap yang membumbung mengisi area itu sebagai tameng sekaligus selubung. Asap ini adalah belati bermata dua, menghalangi penglihatan dan fokus, juga bisa digunakan untuk menyembunyikan diri.

Tujuan mereka adalah sang Jenderal Besar yang Ann ketahui sudah ia lumpuhkan dari efek Progenitor.

"... Tapi, Ann, bagaimana kalau ternyata Kanselir mengaktifkan kembali Progenitor pada Jenderal?"

"Itu tidak mungkin," ucap Fiore. "Andai Kanselir sudah tahu kita bisa menetralisir efek itu, beliau pasti sudah mencoba mengejar kita sampai Pulau Penjara."

Blair mengangguk pelan, "Betul juga. Jadi untuk apa Jenderal Besar ada di sini, bukannya di sisi Kanselir?"

Fiore mengerling ke arah Ann, yang memberi kode dengan sekali kedipan mata untuk ia melanjutkan. "Jenderal Besar ... berpengalaman sebagai tentara batalion Bluebeard yang dulu bertugas di sekitar sini. Wajar saja ia yang ditugaskan sebagai tonggak utama."

Alicia mengimbuh. "Artinya, Kanselir mungkin menunggu entah di mana sebagai sentral dari semua ini. Tapi tujuan kita bukan beliau, 'kan?"

"Tidak mungkin kita bisa melawan Kanselir atau Uskup, Alicia," sergah Hilde. "Kita sudah bisa sampai ke titik ini saja aku rasa sudah merupakan keajaiban."

"Hilde ..." Alicia menatap Hilde nanar, alih-alih mengetahui maksud di balik pernyataan itu.

Sementara, Ann masih bergeming. Ia mendengarkan pendapat yang lain dan melihat ke arah mereka, tapi fokus matanya ada pada pergolakan di bawah sana. Apa yang bisa ia lakukan untuk menuju antara kelompok itu tanpa diserang? Apa ada situasi yang dapat dimanfaatkannya?

"Apa ada yang perlu diperbaiki dari pelontar ini, Muriel? Kita tidak merusaknya, 'kan?"

"Kotak amunisinya rusak, sih, tapi sepertinya kalau kita langsung mengisi energi sihir di bagian selongsong pelontarnya, kita masih bisa menggunakan alat ini," ucap Muriel. "Kamu tidak perlu repot-repot memperbaikinya, Blair. Simpan energimu."

Blair menurunkan pundaknya, "Baiklah, baiklah," ia lalu menatap Fiore dan Hilde. "Artinya yang bisa menggunakan pelontar ini adalah kalian berdua ya ... Fio, kamu serius gapapa?"

"Kalian berisik, deh. Aku masih bisa menembak energi sihir, kok. Hilde saja yang harusnya berjaga-jaga untuk menyembuhkan Unit Charlie nanti atau kalau ada apa-apa terjadi di bawah sana."

Muriel menepuk pundak Fiore, "Jangan sampai kamu nggak bisa jalan lagi kayak waktu kemarin, Fio."

"Oh ayolah, kalian," Fiore memberengut. "Bagaimana posisi Charlie dan Delta sekarang?"

"Perkiraan waktu mereka tiba sekitar sepuluh menit bila mereka tidak dihadang oleh tentara," ucap Blair setelah melihat jejaring sistem komunikasi. "Ann, apa kamu punya ide soal yang di bawah itu?"

Ann mengerjap. Di kondisi mereka setelah berhasil menguasai alat pelontar sihir, yang masih bisa bertarung dalam kondisi cukup prima hanya dirinya, Muriel, dan Alicia. Hilde, seperti yang mereka tadi diskusikan, diusahakan menyimpan energinya untuk support, sama dengan Blair. Fiore tidak menyebutkannya tapi pasti dia sudah cukup capek untuk menggunakan Titania. Dia masih bisa ikut bertarung, tapi Ann tidak ingin membuatnya berada dalam situasi bahaya.

"... Ada sih," Ann bertopang dagu. "Tapi ..."

Ia menatap ragu Fiore, yang kemudian menyalak. "Apa? Katakan saja. Tidak usah khawatir denganku, aku tidak selemah itu, hei."

Ann terkekeh. Ah, pikirannya terbaca, ya?

"Kita akan mengangkat asap itu."

-

Unit Delta terus melangkah menuju titik temu yang ditujukan Unit Alpha dan Bravo. Informasi terus mengalir dari Unit Charlie yang meminta izin untuk bertemu nanti setelah mereka melakukan pertolongan pertama. Sisi hutan tempat mereka mendarat terlampau sepi. Tidak ada jejak di tanah merah pertanda tentara-tentara lewat, atau bekas di pohon yang menandakan ada alat berat yang melewati tempat itu. Mereka memang memilih mendarat di bagian yang tidak terjamah asap, tapi mereka tidak menduga bahwa pasukan penyerang sangat selektif dan berfokus selebihnya untuk ofensif, tidak menyebar pasukan mereka sembarangan.

Ada kemungkinan pasukan utama yang menyerang ke barak Caelia berpisah dengan batalion-batalion kecil menuju kota-kota pesisir sesuai data yang diberikan, tapi itu bukan tugas mereka untuk membuktikannya. Mereka hanya perlu melumpuhkan usaha penyerangan ke barak Caelia hingga pasukan utama mengambil alih, dan kemudian mereka meneruskan apa yang sudah mereka dapat mengenai perang ini pada pihak Caelia. Caelia yang berpasukan besar nantinya akan menumpas Bluebeard dan menghentikan perang.

Eris menangkap raut cemas Gloria, ia mencoba mengurainya perlahan-lahan. "Karen pasti baik-baik saja, Gloria."

"Ah," ucapnya pendek. Ekspresinya mengendur, "Kamu kira aku mengkhawatirkan itu, ya?"

"Oh? Memangnya bukan seperti itu?"

"Tidakkah kamu merasa informasi yang diberikan Unit Charlie terlalu lengkap?"

Lucia menjadi salah satu yang segera terhenti. "Kamu mencurigai sumber informasi Karen, Gloria?"

"Mungkin lebih ke ... bagaimana ia mendapat informasi," ucap Gloria, menyuruh mereka kembali berjalan mendahuluinya. Mereka terus berjalan teratur menghindari ranjau, juga mengamati sekeliling mereka dari kemungkinan serangan tiba-tiba yang datang. "Unit Charlie jatuh, dan seakan-akan mereka ada tepat di sebuah ladang rahasia."

"Maafkan aku, tapi, bukannya ini waktu yang kurang tepat untuk mencurigai teman sendiri, Gloria?" imbuh Eris. "Walau ini patut dipertanyakan, kita bisa membicarakannya nanti setelah semua kembali dengan selamat."

Hana memperlambat langkahnya, berjalan bersama dengan Gloria. "Gloria, Gloria!" Hana memanggil namanya. "Karen tidak pernah melakukan hal buruk, kok!"

Mendengar itu, Gloria hanya terkekeh, "Begitu, ya, Hana."

Lucia yang menjadi kepala barisan meminta mereka berhenti di balik salah satu batu besar. Ia mengeluarkan pedangnya.

"Peleton, lima orang. Tiga wanita dan dua pria. Satu menggunakan senjata api jarak menengah."

Eris turut mengeluarkan pedangnya. "Hana. Serang dari atas, nanti kami akan segera mengepung mereka dari bawah."

"Aye!"

Hana mendaki cepat undakan batu dan melompat bebas, menghujam switch axe-nya ke tanah, pertanda bagi Eris, Lucia dan Gloria maju melumpuhkan tentara itu saat mereka goyah.

.

Untuk saat ini, Gloria memutuskan untuk berpegang pada ucapan Hana - apa pun yang terjadi, Karen tidak melakukan sesuatu hal buruk.

Walau Karen mengkhianati mereka sekali pun.

Poison TravelerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang