Intermission 030: Kepasrahan

21 6 2
                                    

Hilde dan Karen sampai di titik kumpul setelah melewati jalur yang ditentukan, bersamaan dengan Val yang mengikuti jalur paling timur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hilde dan Karen sampai di titik kumpul setelah melewati jalur yang ditentukan, bersamaan dengan Val yang mengikuti jalur paling timur.

Val terlihat seperti kehabisan napas, Alicia segera menyuruhnya untuk menepi dan beristirahat. Lucia sibuk mengelap bekas darah dari wajah Hana yang nyengir lebar dan membusungkan dada secara pongah sehabis membelah lautan tentara. Sementara, Instruktur berfokus untuk mengalirkan energi ke lingkaran sihir besar yang akan mereka gunakan untuk berpindah ke Pulau Penjara yang jaraknya bisa dibilang cukup jauh, terpisah dengan lautan. Gloria masih sibuk mengendalikan alur informasi dan mencari pergerakan tentara besi dan beberapa anggota polisi militer yang mencari mereka.

Tidak ada tanda-tanda Eris, Ann dan Fiore muncul untuk saat ini, sementara di pembaharuan terakhir, mereka sudah berhasil mengambil Warden hitam dan menuju titik Ann. Seharusnya mereka tengah berhadapan dengan Jenderal Besar sekarang.

Muriel menyerahkan handuk kepada Hilde dan Karen. "Usap keringat kalian dan tenanglah," ucapnya. "Eris dan Fio pasti akan segera kembali."

Eris. Entah apa yang ada dipikiran gadis itu sekarang. Para prajurit Norma itu berkata soal misinya sebagai Misionaris dengan enteng. Mereka tidak merasakan apa yang dialaminya sebagai Misionaris itu sendiri.

Kedekatannya dengan Eris bisa dibilang adalah sebuah keajaiban, juga sebuah pedang bermata dua. Sampai sekarang, ia tidak tahu mengapa ayahnya menyuruhnya untuk terus dekat dengan Eris, ketika ia tahu suatu hari nanti Hilde harus melaksanakan tugasnya. Misionaris tidak biasanya menjadi perwakilan Kota Suci bagi Norma untuk Bluebeard, tidak pernah ada kejadian itu sebelumnya. Namun sekarang, Hilde adalah teman kecil Eris sekaligus orang yang akan memutus kepala itu dari badannya.

Sejak mereka menuju Dresden, Hilde sudah memastikan kalau ia mencoba tidak dekat dengan Eris - muncul saat jam latihan namun tidak berbicara banyak. Berkomentar bila diperlukan. Berusaha berbaur dengan kelas yang dipikirknya nanti ditinggalkannya dengan segera.

Akan tetapi, apa yang terjadi dalam kurun waktu setengah tahun sejak Kelas Sembilan dibuka adalah hal-hal yang unik dan mewarnai hidupnya juga.

Kelas Sembilan adalah tempat di mana semua orang bisa diterima walau mereka jelas-jelas menyembunyikan sesuatu. Kelas mereka tidak membedakan bangsawan atau jelata. Kelas mereka tidak membedakan asal provinsi. Bahkan mereka mungkin satu-satunya kelas yang bisa duduk bersama dengan penduduk Spriggan tanpa banyak drama, berbeda dengan Kelas Tiga yang didominasi bangsawan atau Kelas Enam yang cenderung berisi para penurut.

Di waktu yang singkat itu juga, mereka telah berbagi banyak hal. Pengetahuan daerah masing-masing, anekdot-anekdot penuai gelak tawa lepas, cara bertarung dan teknik mempertahankan diri, kebiasaan-kebiasaan kecil yang dengan mudah mereka kenali dan ketahui, kekalahan yang membuat mereka bersama-sama ingin terus berkembang menjadi lebih kuat.

Hilde menyadari ia sudah terlalu lama berada di zona nyaman. Pedangnya sudah tumpul.

"Hildergard," bisik Karen. "Kamu sengaja, 'kan?"

"... Eh?"

"Aku mengerti, tidak semua hal bisa dijelaskan dengan bibirmu sendiri, terutama soal sensitif mengenai pengkhianatan dan mengambil nyawa orang lain," Karen meneruskan. "Jadi itu rahasiamu; tentangmu dan si Putri-mu itu."

"Maksudmu?" Hilde mencoba mengingat-ingat. Karen Ray Spriggan sudah dipastikan bukan seorang diplomat biasa yang ditugaskan sekedar menjadi simbol provinsi yang dianeksasi. Spriggan, provinsi yang ternyata Norma memiliki andil besar di sana selain sebagai yang dielu-elukan, sang 'pemersatu'.

Sejenak, Hilde juga tidak tahu apa ia harus menampilkan wajahnya pada Karen. Dia adalah orang Norma yang sudah merusak kemerdekaan Spriggan untuk selamanya. "... Apa ada orang yang kamu khianati juga, Karen?"

Karen terkekeh, ia mengacak rambutnya. "Khianati? Kurasa aku sudah lebih dari itu."

Hilde mengerjap, enggan bertanya lebih lanjut dan memilih menunggu Karen akan bicara lagi atau memutuskan diam.

"Aku juga ingin sepertimu, aku ingin ada orang lain menjelaskan motif di balik apa yang sudah kuperbuat," Karen menghela napas panjang. "Sayangnya, segalanya tidak semudah itu, ya?"

Lucia mendekati mereka dengan Hana yang kurang lebih sudah agak bersih walau bagian-bagian mukanya lecet. Karen melambai ke arah Hana yang melambai balik. Lucia menunduk tanda sopan seperti biasanya.

"Kalian tidak apa-apa?" tanya Lucia.

Lucia Florence Leanan, orang yang Putri kini puji terus-menerus karena kemampuan pedangnya yang bukan main. Gadis yang diperolok dengan kemampuan sihir nol kini adalah orang yang bisa dibilang paling tangguh di kelas mereka. Sejujurnya, Hilde bisa bilang ia iri ketimbang cemburu - keberadan Lucia berarti akan ada jarak antara Hilde dan Eris. Walau demikian, Hilde tidak memiliki kekuatan atau kemampuan setingkat Lucia yang bisa ia gunakan untuk melindungi Sang Putri.

Ya, melindungi Tuan Putri pewaris takhta Bluebeard merupakan alasan yang menjadi topeng bagi Hilde selama belasan tahun ia ada di samping Sang Putri.

Sekarang, ketika topeng itu tidak lagi berguna dan identitasnya sebagai Misionaris telah terbuka sekaligus tuntutan tugas yang tidak bisa ia hindari, ada di posisi manakah dia? Di seberang Tuan Putri sebagai lawan? Atau tetap berada bersama Tuan Putri, namun sebagai belati yang suatu hari akan menghujam pemiliknya tanpa ampun?

"Ah, tenang saja, aku baik," Karen segera menjawab. "Kamu harus lebih mengkhawatirkan Hana, deh, Lucia."

Hana merajuk, "Hana sudah membuktikan Hana kuat, lho, Karen!"

Karen menepuk-nepuk kepala Hana, tanda pujiannya pada Hana yang memberitahukan bagaimana ia menghabisi musuh (tidak mati) dengan kapaknya. Sementara, Hilde mengulum bibir, memalingkan wajahnya ke arah jalan setapak kota Baldwin yang seperti ditinggal pergi seluruh penduduknya hingga kota yang ramai baru saja menjadi kota yang mati.

"Kamu meragukan Eris, Hilde?"

Lucia tiba-tiba bertanya, Hilde sontak memekik.

"Tidak, aku ... percaya Eris akan kembali tanpa terluka." Hilde menggaruk pipinya. "A-Ada apa?"

"Kamu selalu memasang wajah itu kalau sedang memikirkan Eris,"

Hilde tertegun, sebelum semburat merah melingkupi pipinya. "Ka-Kamu bicara apa, Lucia?"

Lucia tersenyum simpul, "Tenang saja, Hilde. Saya tahu Eris akan memilih jalan yang terbaik."

Alih-alih mengetahui arah pikirannya, kalimat dari Lucia itu datang sebagai angin segar; sebuah harapan.

Eris memang tidak pernah berhenti membuat Hilde terkejut. Perkembangan kemampuannya sebagai seorang pengguna pedang, bahkan mengalahkan adik kembarnya yang juga berlatih di bawah guru yang sama. Eris tidak pernah dididik menjadi seorang putri yang dikurung dalam kastil dan digurui dari tahun ke tahun untuk belajar tentang adat dan etika. Eris selalu diajari menjadi seorang ksatria, dan mungkin Hilde tidaklah dibutuhkan untuk menjadi pengawal baginya. Eris juga dengan mudah berteman dengan siapa saja, mulai dari mereka yang berpangkat rendah seperti buruh cuci, para Komandan dan kru batalion yang datang ke Bluebeard menghadap sang guru, atau narapidana yang cukup skeptis dengan pemerintahan Bluebeard.

Walau demikian, Eris akan selalu menarik Hilde, menggenggam tangannya dan membuatnya menjadi bagian dari Bluebeard tempatnya ada untuk sementara.

Apakah seorang pengkhianat sepertinya masih diperbolehkan berharap?

Poison TravelerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang